Angkringan,
Ruang Sosial Ngerangan
yang Berkelana ke Penjuru Nusantara
Tulisan oleh
Ayu Prawitasari
Jika Anda pernah menikmati segelas teh panas manis kental yang dituang dari ceret abu-abu dengan uap menguar; nasi sekepal dengan lauk ikan bandeng seukuran jari kelingking dibalut sambal atau nasi oseng kacang yang dibungkus kertas bekas; aneka gorengan; sundukan telur puyuh coklat; dan lauk sejenis, maka Anda telah mengalami momen Ngerangan.
Karso Djukut, warga Ngerangan, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, adalah pencetusnya saat ia kali pertama mencoba bisnis ini di tempat para saudagar dan pembatik berkumpul sekitar 1943 silam. Tempat itu adalah pusat batik Laweyan, Kota Solo.
Dan perjalanan angkringan dari Ngerangan tak berhenti di Solo saja. Sebab, angkringan adalah representasi kegigihan penduduk di tanah tandus yang berjuang mendapatkan kehidupan lebih baik.
Jadi, seperti juga penduduk Ngerangan yang sebagian besar merantau, angkringan dengan cepat menyebar ke wilayah-wilayah lain, seperti Jogja, Pantura, kota-kota di Jawa Barat, kota-kota di Jawa Timur, hingga menyeberang ke luar Jawa. Pada akhirnya, tanpa kita sadari, ruang sosial angkringan itu telah menembus ruang dan waktu, mengubah identitas Ngerangan menjadi identitas Nusantara.

Karso Djukut baru saja genap berusia 15 tahun saat ia meninggalkan Desa Ngerangan, Bayat, Klaten, pada 1930 lalu. Dia hendak bekerja di Solo seperti teman-temannya meski di kepalanya tak ada bayangan pekerjaan yang pasti, dan situasi tersebut sungguh wajar pada tahun-tahun itu, tahun-tahun yang serba tak pasti.
Desing peluru yang tertangkap telinganya membuat bocah itu harus bersembunyi berkali-kali di balik pepohonan dan bebatuan agar tidak menjadi korban salah sasaran.
Djukut, si remaja pemberani, pada akhirnya berhasil sampai di Solo dengan selamat. Begitulah perjuangan si pencetus ide angkringan itu diceritakan secara turun-temurun oleh warga Ngerangan dengan penuh kebanggaan.
Saya mendengar cerita Gunadi, 44, seorang tokoh masyarakat di Desa Ngerangan dan pegiat di Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), tentang Djukut tanpa menyela sedikit pun pada sebuah Sabtu pagi setelah pandemi Covid-19 berlalu, sekitar akhir 2022 lalu.
Kami berdua berada di Gubuk Tiwul, sejenis angkringan inovatif milik warga di pusat desa yang lokasinya tak begitu jauh dari Museum Angkringan – sebuah museum swadaya yang pendiriannya dibantu mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ketika mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) di desa itu.
Pandemi yang baru saja berlalu dan sebuah desa yang sepi menjadi kombinasi sempurna untuk memancing segala sensoris saya, di samping cerita Gunadi yang menarik perihal bagaimana konsep angkringan muncul.
Tanah-tanah kering, sawah tadah hujan, dan panas yang sangat terik membuat saya menyadari bahwa Ngerangan tak begitu banyak berubah sejak zaman dulu kecuali jalanan aspal dan ponsel pintar milik Gunadi di depan saya, yang tentu saja belum ada saat Djukut masih hidup.
Namun, tanah gersang di hadapan saya mungkin sama dengan yang Djukut remaja saksikan, khususnya saat ia nekat memutuskan merantau di Kota Solo setelah bapaknya meninggal tanpa keahlian apa pun lantaran tak melihat desanya sebagai potensi bagus pada masa depan.
Jalan hidup mempertemukan Djukut yang kebingungan di Solo dengan Wono, seorang juragan terikan di Laweyan, begitu kata Gunadi melanjutkan kisahnya. Pada masa itu, istilah terikan merujuk pada makanan matang siap santap versi Jawa, yang mau tak mau membuat saya membayangkan sejenis makanan cepat saji di Eropa yang membuat industrialisasi berputar, seperti juga bisnis batik di Laweyan berlari setelah para pekerja mendapatkan kembali energi mereka.
Awalnya, Djukut remaja belum berkesempatan menjual terikan. Wono meminta Djukut merawat kerbau miliknya dan bertani. Namun, melihat Djukut yang rajin dan bisa diandalkan, barulah anak muda itu mendapat kesempatan berjualan terikan seperti juga pegawai Wono yang lain. Lagi pula, Djukut pada dasarnya memang seorang anak kreatif. Tak seperti teman-temannya yang sekadar meneruskan tradisi terikan, Djukut mengambil langkah lebih yang walau kecil, namun kreatif.
Memperhatikan pembeli yang butuh minum setelah menyantap makanan, Djukut pun menyesuaikan. Dia mulai membawa ceret berisi air agar pembelinya puas. Dengan dua tumbu (wadah dari anyaman bambu) yang diangkat dengan bantuan sebilah bambu dan sebuah ceret yang dijinjing, Djukut terus berjualan hingga akhirnya mendapat banyak pelanggan berkat layanan plusnya itu.

Tahunnya sekitar 1943, begitu kenang Gunadi, saat cikal bakal angkringan mulai terwujud berbasis ide Djukut yang kreatif. Pendorongnya sederhana: tumbu tak lagi representatif untuk tempat ceret sehingga membuat tangan pemuda itu tak bebas. Lagi pula, membawa pikulan bambu sementara tangan membawa ceret juga sama sekali tak praktis.
Untuk mengatasi hambatan ini, dibantu beberapa temannya, Djukut muda pun mulai berinovasi dengan kayu hingga menghasilkan pikulan datar yang memiliki beberapa ruang untuk tempat menaruh ceret, beberapa gelas, serta senthir (sejenis lampu minyak). Langkah ini membuat Djukut bertransformasi menjadi penjual keliling modern.
Sambil mendengar kisah Djukut yang sangat kreatif itu, pikiran saya berputar cepat. Saya menangkap polanya. Sensitivitas Djukut dengan halus mengetuk kesadaran saya bahwa anak muda memang secara natural selalu sangat adaptif terhadap teknologi dibandingkan generasi yang lebih senior. Pada masa apa pun itu, para pemuda selalu berada di garda depan pengguna aktif teknologi karena kebutuhan-kebutuhan baru mereka. Yang membedakan generasi muda dulu dan sekarang hanyalah material teknologinya.
Inovasi pikulan kayu, tepat seperti yang saya duga, membuat pembeli Djukut bertambah. Situasi itu membuat bisnis Djukut berkembang dan ia pun mulai belajar menjadi juragan seperti halnya Wono, sang mentor. Sampai di sini, lagi-lagi saya dibuat terkagum-kagum dengan kelincahan berpikir Djukut.
Laki-laki ini kemudian mengajak Wiryo Jeman, pemuda dari Sawit, sebuah kampung di Ngerangan yang merupakan kampung halamannya, ke Solo untuk bekerja bersama. Cara Djukut merekrut prembe (anak buah) ini juga menjadi tradisi yang dipegang erat warga Ngerangan hingga kini. Wiryo memiliki karakter mirip Djukut. Bersama Wiryo inilah Djukut kemudian membuat racikan jahe (salah satunya jahe gepuk) dan teh khas angkringan seperti yang kita kenal sekarang, yaitu teh oplosan dari berbagai macam merek. Dibantu Wiryo, bisnis Djukut terus berkembang hingga pada tahun 1950-an, dia mengajak sejumlah warga Sawit lainnya. Inilah cikal bakal budaya merekrut pegawai berbasis lokalitas untuk sebuah bisnis yang sifatnya komunal dan sosial dimulai. Lagi-lagi kreativitas Djukut mencatatkan sejarah.

Ada hal menarik yang saya pelajari saat Gunadi mengajak saya ke Museum Angkringan. Museum itu sejatinya adalah rumah milik warga Ngerangan yang sementara ini tidak digunakan sehingga dimanfaatkan sebagai tempat mendokumentasikan sejarah angkringan. Meskipun sangat sederhana, museum itu menyimpan banyak informasi perihal asal-usul angkringan, mulai dari evolusi tempat berjualan angkringan – dari tumbu bambu, menjadi kayu, hingga kemudian menjadi gerobak manggrok (tidak berpindah tempat, yang mulai muncul pada 1980-an) – sampai peta penyebaran pelaku usaha angkringan.
Penyebutan angkringan yang begitu beragam dalam peta persebaran para perantau itu sejatinya merujuk pada hal yang sama. Di Solo dan sekitarnya, sebagai contoh, kami menyebut angkringan dengan nama hik atau wedangan. Hik ini merujuk pada keterangan Wiryo yang dipublikasikan di berbagai media massa dan media sosial. Menurut Wiryo, dia dan rekan-rekannya selalu meneriakkan frasa “hiiikkkk turrrrrr” saat berkeliling kampung. Penjual lain sering meneriakkan “hikkkk kopi, kopi”. Frasa kedua ini dikonfirmasi oleh Wakiman Warno Suwito, seorang pelaku usaha angkringan pada tahun 70-an, yang saat ditemui berusia 76 tahun.
Warisan Kebijaksanaan
Lepas dari perbedaan tersebut, kata hik sejatinya tidak memiliki makna apa pun kecuali secara arbitrer menjadi penanda kehadiran para penjual makanan siap santap untuk makan malam pada era tersebut. Keterangan Wiryo ini terkait dengan yang ditulis dalam buku 50 Tahun Kota Surakarta terbitan Pemerintah Kota Solo. Dalam buku itu disebutkan bahwa ungkapan hik berasal dari warga atau konsumen ketika memanggil penjual makanan yang lewat. Awalnya, penjual makanan sekadar berkeliling kampung menjajakan dagangan mereka tanpa berkata-kata atau meneriakkan kata khusus. Mereka sekadar berjalan sambil membawa makanan dengan mulut membisu.
Ini baru soal penamaan di Kota Solo saja. Kisahnya menjadi berbeda dengan yang muncul di Yogyakarta dan sekitarnya. Hik di Yogyakarta lebih dikenal dengan nama angkringan. Menurut Suwarno, tokoh masyarakat setempat, istilah ini berasal dari Solo di mana Djukut tidak menyediakan kursi untuk pelanggannya sehingga mereka makan dengan cara nangkring atau berjongkok. Istilah ini kemudian lebih dikenal sebagai angkringan di Yogyakarta. Selain itu, di Yogyakarta, angkringan juga disebut warung koboy.
Selanjutnya, di Semarang, Kudus, Pati, Jepara, dan daerah Pantura, hik kembali berganti nama. Gunadi bercerita masyarakat Semarang dan sekitarnya mengenal hik dengan nama kucingan atau sega kucing. Gunadi, yang pernah berjualan kucingan di Semarang saat berkuliah, menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak ada yang berbeda antara kucingan dengan hik, baik itu dari faktor makanan dan minuman yang dijual hingga cara penyajian. Dengan demikian, perbedaannya hanya pada tataran nama.
“Istilah-istilah ini memang sangat adaptif,” demikian Gunadi menjelaskan.
Kata adaptif ini lantas saya beri garis bawah tebal karena makin meyakinkan saya bahwa roh angkringan sebenarnya memang pada semangat kreativitas dan adaptasi tanpa henti yang berbasis warisan kebijaksanaan generasi pendahulu. Keyakinan saya bukan tanpa alasan. Pandemi, menurut saya, menjadi contoh bagus mengenai repetisi ketidakpastian dan bagaimana sekali lagi warga Ngerangan menghadapi situasi tersebut mengandalkan akar sejarah mereka.
Banyaknya pemutusan hubungan kerja selama pandemi Covid-19 membuat lebih banyak warga Ngerangan menggantungkan hidup mereka dengan berjualan angkringan. Pada 2019, menurut catatan di Museum Angkringan, ada 700 warga Ngerangan yang mengelola angkringan, dan jumlah itu diperkirakan terus bertambah selama dan pascapandemi, baik itu yang berjualan di Ngerangan, di luar desa, bahkan hingga di luar Kabupaten Klaten.

Merebaknya pelaku usaha angkringan yang sukses menjelang, selama, dan pascapandemi ini membuat saya berpikir lagi. Berbasis peta penyebaran angkringan sejak awal hingga saat ini, dengan sedikit merapikan pola, saya kemudian membaginya menjadi empat generasi.
Generasi pertama adalah generasi Solo, generasi kedua adalah generasi Yogyakarta (pelaku usaha angkringan di Yogyakarta belajar dulu di Solo perihal manajemen angkringan sebelum mereka memulai usaha), generasi ketiga adalah Kota Semarang dan sekitarnya, sementara generasi keempat merujuk pada kota-kota di Jawa Barat hingga luar Jawa.
Masih mengandalkan peta penyebaran, ada pembeda khas selain faktor spasial dan waktu antara generasi keempat dan generasi sebelum-sebelumnya.
Karakter generasi keempat, saya perhatikan, jauh lebih modern karena beberapa di antaranya telah berkembang menjadi sejenis warung etnik modern di mana gerobak hanya sebagai penanda identitas.
Generasi keempat ini juga melibatkan modal finansial lebih besar, perekrutan tenaga kerja sampai prembe (anak buah yang direkrut juragan angkringan sebagai penjual angkringan) lebih banyak, hingga alat transportasi semacam motor untuk operasional prembe-prembe mereka. Dengan begitu, profit yang dihasilkan oleh generasi keempat juga lebih melimpah.
Situasi ini jelas berbeda dengan konsep awal angkringan yang lebih banyak melibatkan modal sosial di mana sejumlah makanan merupakan titipan tetangga atau orang-orang yang tempat tinggalnya berdekatan dengan pelaku usaha angkringan.
Walau konsep ini tak sepenuhnya ditinggalkan, pun cara perekrutan yang masih memprioritaskan warga asal pelaku usaha, namun modal finansial generasi keempat yang lebih besar membuat keuntungan yang mereka dapatkan juga lebih tinggi dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Dampaknya adalah para pengusaha angkringan yang sukses ini bukan hanya menjadi kebanggaan warga, namun juga menjadi andalan pemerintah desa. Sebab, para pengusaha ini tak segan mengeluarkan banyak uang untuk membantu membiayai pembangunan desa, perbaikan jalan contohnya. Seorang pengusaha, menurut Gunadi, bahkan juga menghidupi kiai desa supaya menjadi tumpuan pengembangan spiritual warga desa setempat.
Ruang Inklusif dan Demokratis
Mendengar kesuksesan para perantau itu, saya kemudian teringat pada humor lokal di Ngerangan yang cukup familiar di Klaten. Humor itu menyebut bayi laki-laki yang lahir di Ngerangan pastilah akan langsung mendapat sebuah gerobak angkringan sebagai simbol masa depan mereka. Ekspresi Gunadi yang kesal ketika menceritakan humor itu masih sangat saya ingat benar.
Gunadi yang saat ini mengajar pendidikan agama Islam di sebuah sekolah dasar memang tak pernah ingin berjualan angkringan. Menjadi penjual angkringan jelas bukan cita-cita laki-laki yang mudah mengantuk ini. Namun, pada akhirnya dia harus menertawakan dirinya sendiri karena budaya dan tradisi di Ngerangan tak pandang bulu. Keduanya mengikat Gunadi dengan sangat kencang sehingga di salah satu fase hidupnya, Gunadi juga pernah berjualan angkringan.
Gunadi bercerita, saat kuliah di Semarang dia membutuhkan banyak uang. Namun, ayahnya yang tukang becak dan ibunya yang penjual makanan tak bisa memberikan uang itu. Akhirnya, dengan bantuan sang kakak yang menyediakan gerobak dan makanan angkringan, mulailah Gunadi muda bekerja sambil berkuliah.
Budaya inilah yang membuat Ngerangan istimewa, menurut saya. Jadi, walau ada beragam pekerjaan di Ngerangan – dari yang informal macam buruh hingga yang paling formal sebagai pegawai di kantor desa atau bahkan pegawai di kantor kabupaten – namun hampir semua orang yang hidup di desa ini merasakan berjualan angkringan, minimal sekali dalam hidup mereka.
Intervensi Djukut tentu tak bisa diabaikan. Djukut, saya mulai berpikir dia jenius, berhasil mewariskan tradisi merantau warga Ngerangan menjadi sangat khas dan berbeda dengan daerah lain dengan ikatan komunal yang begitu kuat di antara para pelakunya.
Ikatan ini pada akhirnya membuat sang juragan merasa punya “kewajiban” menyediakan kebutuhan dasar dan alat berjualan bagi prembe, sementara para prembe dengan penuh kesadaran memberikan sebagian keuntungan mereka sambil berusaha merintis usaha sendiri. Ketika memikirkan lebih jauh perihal ikatan komunal yang unik ini, saya perlahan menyadari sekali lagi bahwa angkringan memang tidak sekadar warung atau tempat makan.
Kesadaran dan kebijaksanaan lokal perihal solidaritas yang dipegang erat oleh si penjual telah menciptakan setiap angkringan menjadi ruang sosial yang begitu demokratis di mana hierarki sosial seolah memudar dan setiap orang bisa duduk sejajar.
Di angkringan, para pekerja sampai pejabat, kelompok tak berpendidikan sampai intelektual, hingga masyarakat umum bisa berkumpul, berdiskusi, sambil berbagi cerita tanpa batasan status sosial. Tradisi ikatan komunal yang dimulai dari Ngerangan inilah yang memungkinkan angkringan menjadi ruang demokratis sehingga percakapan maupun ide-ide baru dapat berkembang bebas.
Angkringan, sejatinya, bukan hanya tempat mengisi perut, melainkan juga tempat komunitas dan demokrasi berakar kuat, memberikan kontribusi penting bagi dinamika sosial di berbagai wilayah yang ditempati para perantau ini.
Saya bayangkan situasi ini mirip dengan agora di Athena (sekarang Yunani) yang secara harfiah dalam buku The Geography of Genius tulisan Eric Weiner diartikan sebagai tempat berkumpul untuk mengobrol dan bahkan menyampaikan kebohongan sambil bersumpah. Dan tidak ada yang menyukai agora, tulis Weiner di bukunya, dibandingkan sang filsuf Socrates. Socrates adalah orang yang rutin datang ke agora yang bentuknya pasar untuk tawar-menawar dengan penjual, mendengarkan gosip terbaru, mendengarkan pidato orang-orang asing, sampai membicarakan keindahan dengan siapa pun yang ada di sana.
Inklusivitas agora memberikan tempat bagi semua orang untuk berbicara dan saling terhubung, mengutarakan pendapat masing-masing yang tentu saja sangat beragam dan berbeda-beda, dan sekali lagi dengan bebas tanpa tekanan. Weiner menyebut agora adalah tempat jenius dan sejujurnya membuat saya berpikir, begitu pun angkringan bukan?
Mari saya ajak Anda merenung yang dimulai dengan kerendahan hati bahwa tidak ada satu pun negara yang memiliki sistem sempurna dengan kehidupan yang sempurna. Ini juga berlaku untuk negara kita.
Maksud saya, konteks kesempurnaan sejatinya lebih berkaitan dengan upaya memperbaiki kesalahan dan kekurangan secara konsisten supaya kehidupan menjadi lebih baik – yang bagi negara tentu kehidupan yang lebih baik bagi semua orang.
Angkringan, menurut saya, adalah ruang perjumpaan inklusif yang berakar dari budaya lokal dan untungnya bisa kita adopsi dengan sangat lancar secara lebih luas di tingkat nasional.
Di angkringan, topik-topik mengenai kesenjangan ekonomi, utang negara, inflasi, politik, UMK, BPJS Kesehatan, sampai depresi, biasa dibicarakan dalam situasi bercanda hingga debat semalam. Pada tengah malam atau menjelang dini hari, semua debat harus selesai dengan senyum yang akan disambung dengan debat yang lain pada keesokan harinya.
Situasi inilah yang menurut saya sangat berharga karena berbagai prasangka dan stigma bisa diminimalisasi di sini. Saya teringat cerita tokoh masyarakat sekaligus Ketua Program Kampung Damai di Kelurahan Tipes, Solo, Agus Suherman, namanya.
Cerita Agus itu berkaitan dengan fakta mengenai betapa rapuhnya situasi sosial dan ekonomi di Tipes. Sisi utara Jl. Veteran, Tipes, merupakan pusat bisnis dengan deretan restoran, supermarket grosir, hotel, hingga perguruan tinggi swasta.
Sementara itu, sisi selatan adalah wilayah slum yang berbatasan dengan Cemani, Grogol, Sukoharjo, yang dikenal masyarakat luas sebagai daerah merah radikalisme beragama. Situasinya sungguh menantang, begitu kata Agus. Yang tidak saya duga, jawaban Agus perihal solusi mengantisipasi konflik justru sangat sederhana. Nama solusi itu adalah Wedangan Birman yang dhasarannya ada di Jl. Veteran

Di wedangan inilah Agus dan rekan-rekan kampungnya menjembatani perbedaan yang sangat radikal itu: mempertemukan orang kaya dengan orang miskin, dan yang radikal dengan yang moderat—sambil minum kopi, teh panas kental, nasi sekepal, serta membicarakan topik-topik random dalam situasi yang benar-benar cair.
Berbasis cerita Agus ini, saya yakin sebenarnya ada banyak keindahan inklusivitas yang disuarakan oleh wedangan, hik, angkringan, kucingan, atau apa pun namanya, di tengah disrupsi informasi setelah hadirnya media sosial saat ini.
Angkringan bukan sekadar warung, dalam pandangan saya, melainkan bagian dari pemajuan budaya lokal yang memadukan tradisi, inovasi, dan nilai-nilai sosial. Sebagai ruang sosial, angkringan menawarkan inspirasi bagi pemajuan kebudayaan nasional dengan menampilkan cara hidup sederhana, inklusif, serta penuh solidaritas.
Keberadaan gelombang keempat angkringan menjadi bukti bagaimana ketangguhan warga desa dalam menghadapi krisis pandemi bisa membuahkan hasil dengan mengandalkan kebijaksanaan lokal. Situasi ini memberikan kita pelajaran bahwa masa kini dengan masa lalu berikat erat, dan hal yang sama juga terjadi pada masa depan dengan masa kini.
Pun dari cerita Kampung Damai Tipes yang disokong Wahid Foundation, kita juga bisa mendapat pelajaran berharga bahwa ruang perjumpaan yang berbasis tradisi dan bernama angkringan sejatinya adalah kunci untuk merawat keberagaman.

Ayu Prawitasari adalah jurnalis Solopos Media Group yang memberikan perhatian lebih pada isu-isu kesetaraan gender dan kajian budaya. Saat ini, lebih banyak menulis esai-esai dan cerita pendek yang dipublikasikan di berbagai media massa. Sandal Jepit Swallows in Prison yang dipublikasikan di The Margins (Asian American Writer Workshop/AAWW) https://aaww.org/sandal-sandal-jepit-di-penjara-sandal-jepit-swallows-in-prison/ mendeskripsikan nilai-nilai dasar yang ia pegang selama masih berkarier di dunia jurnalistik. Ayu juga pengajar lepas untuk mata kuliah Bahasa Indonesia di UIN R.M. Said Surakarta. Bisa diajak ngobrol di Instagram @ayuprawitasari.