Tumbuh dan Berubah: 20 Tahun Perjalanan Grafiti di Kota Malang

Tulisan oleh
Helmi Zuhdi

Bayangkan sebuah dinding gua yang remang-remang, diterangi cahaya obor yang bergoyang. Di sana, ribuan tahun lalu, manusia yang pernah tinggal pada saat itu menggoreskan kisah mereka—lukisan perburuan, jejak kehidupan sehari-hari, dan cara mereka berkomunikasi. Kebiasaan mencoret dinding ini menjadi dasar dari istilah yang kita kenal sekarang sebagai grafiti, memiliki sejarah yang mengakar jauh ke masa lampau. Kata “grafiti” sendiri membawa kita pada perjalanan etimologis yang menarik—berasal dari bahasa Latin graphīre yang berarti menulis, dan terhubung dengan istilah Italia graffito yang bermakna “menggaruk” (White, 2018).

Seperti yang dijelaskan oleh Mikke Susanto (2011), grafiti—yang merupakan bentuk jamak dari graffito—telah berkembang maknanya menjadi segala bentuk gambaran atau goresan yang tertuang di dinding. Di Indonesia, grafiti memiliki kisah heroiknya sendiri. Pada masa pergolakan kemerdekaan, dinding-dinding kota tidak hanya menjadi saksi bisu perjuangan, tetapi juga menjadi medium perlawanan yang punya kekuatan. Bayangkan semangat yang membara ketika para seniman legendaris seperti Affandi dan S. Sudjojono menuangkan semangat perjuangan dalam slogan-slogan seperti “Boeng Ajo Boeng!” dan “Merdeka atau Mati” di tembok-tembok jalanan (Bima, 2006). Seperti yang dicatat dalam tulisan A. D. Pirous (2021), lukisan-lukisan dinding ini menjadi katalis luar biasa dalam membangkitkan semangat massa untuk melawan penjajah.

Catatan Perkembangan Grafiti di Indonesia

Sebagai warga yang hidup dan besar di Jakarta, tak heran saya banyak menemukan grafiti yang tumbuh besar dan padat di antara permasalahan dan keunikannya. Alasan ini menjadi awal mula saya menancapkan diri untuk membahas hal-hal lainnya dalam dunia grafiti. Beberapa catatan tentang grafiti berusaha direkam oleh pengamat yang mencoba membagikan pengalaman mereka tentang perkembangan grafiti di suatu kota dalam bentuk jurnal, berita, majalah, dan buku. Catatan tersebut memuat persoalan bagaimana awal kemunculan grafiti yang banyak menyinggung permasalahan—identitas suatu kelompok, perebutan teritori anggota geng, atau hanya coretan liar dari perorangan yang menuntut eksistensi di ruang publik.

Terdapat banyak catatan yang mempersoalkan tentang bagaimana grafiti bekerja di suatu kota, namun catatan-catatan ini didominasi perkembangan grafiti di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Faktanya, penyebaran grafiti dari waktu ke waktu sangat masif berkembang di kota-kota lainnya, salah satunya Kota Malang, yang mengalami peningkatan jumlah komunitas grafiti setiap tahunnya hingga membentuk pergerakan lintas komunitas di tahun-tahun terakhir. Kota Malang menjadi salah satu kota yang ingin dibahas dalam catatan ini, karena alasan belum adanya catatan yang mampu mendeskripsikan secara lengkap bagaimana grafiti di Kota Malang hadir dan berkembang.

Tikungan dalam Memori Kolektif Grafiti Kota Malang

Setelah sekitar dua tahun lalu proyek ini dijalankan, yang segera ingin dilakukan adalah mencari dan menelusuri para pelaku grafiti yang ada di Kota Malang. Desember 2022, Juni 2023, dan Maret 2024 menjadi waktu observasi dengan melakukan pengamatan di jalan dan wawancara bersama narasumber yang ditemui. Pengamatan di jalan ini saya lakukan terkhusus pada visual grafiti yang ada di pusat Kota Malang, yaitu di Kecamatan Lowokwaru, Klojen, dan Blimbing. Dengan peralatan seadanya, ditemukan visual grafiti Kota Malang yang cukup padat sampai mampu mengalahkan memori penyimpanan ponsel saya. Selama observasi dalam tiga waktu tersebut, saya selalu menangkap visual grafiti pada tempat yang sama. Ada beberapa grafiti yang masih sama bentuknya dari yang sebelumnya, dan ada pula yang sudah berganti visual grafiti lainnya, seolah menuntun untuk naik ke atas panggung.

Peta Wilayah Kota Malang; Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

“Tahun 2004” menjadi kalimat pembuka yang terlontar dari cerita para pelaku grafiti di Kota Malang. Tentunya sudah 20 tahun lalu grafiti hadir di Kota Malang. Hal ini menjadi patokan yang baik untuk saya menelusuri sejauh mana grafiti di Kota Malang ini menampakkan dirinya. Cerita para pelaku ini seperti memberikan potongan-potongan fenomena yang tercecer dalam dunia grafiti di Kota Malang. Sayangnya, beberapa arsip yang mereka simpan dengan baik sejak terbentuknya komunitas pertama di Kota Malang, yaitu NGACO FAMS pada tahun 2006, harus selesai tergeletak di gerobak barang bekas dan hangus di dalam hard drive.

Dokumentasi Arsip Tahun 2007; Sumber: https://www.facebook.com/groups/ngaco.fams, 2024.

Tahun ke tahun, kesadaran mengarsipkan visual grafiti telah dilakukan oleh para pelaku grafiti di Kota Malang. Upaya dalam membuat akun pribadi dan akun kelompok pada media sosial menjadi bentuk kesadaran pengarsipan yang dilakukan. Pada akhirnya, rekam jejak dari visual grafiti bisa ditemukan melalui jagat daring untuk keperluan apapun, baik untuk pelaku sendiri maupun untuk orang lain. Temuan data tentang jejak visual grafiti menjadi kunci bagaimana saya dapat melakukan identifikasi perkembangan grafiti dari tahun ke tahun di Kota Malang.

Dokumentasi Arsip Tahun 2011; Sumber: https://www.facebook.com/groups/ngaco.fams, 2024.
Dokumentasi Arsip Tahun 2015; Sumber: https://www.facebook.com/joyoklan/ 2024.

Potongan-potongan cerita ini dikumpulkan dan disimpulkan menjadi beberapa topik, seperti bagaimana para pelaku grafiti Kota Malang membangun relasi dan memiliki hubungan dengan pelaku grafiti dari kota Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya. Selain itu, di Kota Malang sendiri, dinamika grafiti melewati beberapa fenomena, seperti kebutuhan alat pendukung dan kendala forum komunikasi antar kota lain. Kemudian fenomena grafiti sebagai alat untuk merespons fenomena-fenomena yang terjadi di Kota Malang, seperti isu kemanusiaan atas meninggalnya Munir tahun 2004, erupsi Gunung Semeru tahun 2021, dan Tragedi Kanjuruhan tahun 2022. Fenomena terakhir yang sedang diperjuangkan adalah bagaimana para pelaku bisa bertahan setelah pandemi COVID-19 pada skena grafiti sendiri, dengan melebarkan relasi untuk berkolaborasi hingga menjual karya-karya grafiti digital pada pasar penjualan internasional.

Linimasa Grafiti Kota Malang dari Tahun 2004–2024

Setelah arsip dikumpulkan, hal yang dilakukan selanjutnya adalah mengkonstruksi serangkaian linimasa tentang perkembangan grafiti di Kota Malang selama 20 tahun. Perkembangan visual dan fenomena grafiti pada proyek penelitian ini ditempatkan pada tiga periode besar, yaitu:

  1. Perintis (2004–2011)
  2. Ledakan Grafiti ‘Ngalam’ (2012–2019)
  3. Gelombang Baru (2020–2024)

Pada periode Perintis, yang berlangsung dari tahun 2004 sampai 2011, istilah “Perintis” dipilih untuk menggambarkan tahap awal atau pembuka jalan dalam perkembangan grafiti di Kota Malang. Kata “perintis” sendiri berarti orang yang memulai atau mempelopori suatu usaha, yang mencerminkan upaya para pelaku dalam mengembangkan grafiti di Kota Malang pada periode ini. Upaya tersebut terkait pencarian referensi pengetahuan tentang grafiti, kebutuhan alat dan bahan grafiti, serta mengembangkan manajemen produksi grafiti di Kota Malang.

Periode ini diawali pada tahun 2004, di mana sekelompok pemuda pada tingkat SMA, seperti Eno Sleeck dan Abe One yang sebelumnya tidak saling mengenal, mencoba menggambar di jalan. Muncul keinginan untuk diakui oleh masyarakat dalam memilih gaya hidup. Fenomena grafiti ini di sebagian kota lain juga merasakan hal yang sama.

Pada periode awal, kehadiran grafiti di Kota Malang dibawa oleh arus budaya internet yang memengaruhi anak muda di Kota Malang. Jakarta menjadi pusat budaya populer pada tahun 2000-an awal, yang berita kehadirannya dapat diakses di internet. Grafiti juga turut hadir mengisi masa muda anak remaja di Jakarta, dan pada akhirnya tercetuslah forum blogspot TembokBomber.com. Forum ini menjadi wadah bagi para penyuka grafiti; siapa pun dapat mengakses website ini. TembokBomber.com dilahirkan oleh para pelaku grafiti di Jakarta, yang di mana para pelaku ini sudah memulai grafiti sejak tahun 90-an. Darbotz, Wormo, WeedGrinder, dan masih banyak lagi menjadi nama-nama yang membesarkan forum tersebut.

Anak muda di Kota Malang melihat adanya forum ini menjadi inspirasi untuk pelaku grafiti di Kota Malang yang ingin memulainya. Ketertarikan ini menjadikan semangat karena melihat pergerakan yang dilakukan di Jakarta memiliki gelombang yang cukup besar. Selain TembokBomber.com, platform Friendster di era 2007 menjadi alat jejaring untuk saling terhubung satu sama lain. Keberadaan gelombang internet menjadikan titik di mana para pelaku grafiti di Kota Malang mulai membentuk komunitasnya.

Dokumentasi Grafiti Jamming Bersama Pelaku Grafiti Luar Kota; Sumber: https://www.facebook.com/groups/ngaco.fams, 2024.

Para perintis grafiti pada era ini, di tahun 2009 dan 2010-an, semakin sering berkumpul dengan melakukan kegiatan menggambar bersama atau biasa disebut Grafiti Jamming/Prodo. Kegiatan ini mengundang pelaku grafiti dari luar kota, seperti dari Jember, Bondowoso, dan Surabaya. Salah satu alasan mengapa grafiti pada era ini tetap terlihat di jalan adalah karena faktor pelaku yang menggambar selalu saling melengkapi. Ketika ada pelaku yang berhenti menggambar sementara atau beralih ke hobi lain, pelaku lainnya mengisi dan semakin aktif menggambar di jalan. Faktor ini yang membuat pergerakan grafiti di Kota Malang tetap konsisten.

Periode Ledakan Grafiti ‘Ngalam’, yang ditentukan pada tahun 2012 sampai 2019, menggunakan istilah “ledakan” untuk menggambarkan pertumbuhan yang cepat dan masif dalam komunitas grafiti. Kata “ledakan” di sini digunakan secara metaforis untuk menunjukkan peningkatan yang signifikan dan tiba-tiba dalam aktivitas dan partisipasi. Sementara itu, penggunaan istilah “Ngalam”—yang merupakan kata “Malang” yang dibalik—mencerminkan identitas lokal dan cara berbicara khas masyarakat Malang.

Periode ini ditandai dengan kemunculan pelaku yang hadir semakin masif, komunitas yang lahir pun ikut berkembang, sampai dengan pembentukan ekosistem yang terpusat dengan diikuti kemudahan mendapatkan alat dan bahan karena kehadiran toko grafiti sebagai penunjang alat dan bahan grafiti di Kota Malang.

Pada periode ini, grafiti mulai mendapatkan panggungnya di Kota Malang. Kedatangan mahasiswa dari luar Kota Malang, yang sudah membawa gaya hidup grafiti di kota asalnya, menjadikan grafiti di Kota Malang pada tahun 2012 semakin marak. Kedatangan mahasiswa ini menjadi pemicu terbentuknya komunitas-komunitas besar setelah era NGACO FAMS, GNC, dan MNC di Kota Malang. Lahirnya Joy ‘O Klan, UFA, dan ARTIST VANDAL membentuk keberagaman fenomena, mulai dari fenomena dalam grafiti underground (vandal) dan fenomena grafiti Piece (artistik). Selain itu kelahiran komunitas grafiti yang juga diikuti kelahiran para individu pelaku grafiti ini dikarenakan kehadiran toko grafiti yang menjual alat dan bahan keperluan grafiti itu sendiri. Ekosistem dalam skena grafiti pada era ini cukup terpusat dan cukup strategis, seperti toko grafiti yang lokasinya tidak jauh dari area kampus, sehingga memudahkan para pelaku grafiti yang berkumpul di kampus untuk sekedar membeli peralatan grafiti atau berkumpul bersama.

Dokumentasi Arsip Tahun 2013; Sumber: https://www.facebook.com/groups/ngaco.fams, 2024

Keberagaman fenomena yang terbentuk pada era ini, seperti semakin banyaknya acara seperti grafiti jamming atau sketch jamming karena keberadaan wadah para pelaku seperti toko grafiti dan komunitas grafiti yang ada. Battle crew grafiti juga diadakan pada era ini, lomba grafiti yang diwakilkan di tiap-tiap kelompok ini memberikan semangat para pelaku dalam melakukan grafiti, selain itu grafiti di Kota Malang juga selalu mengadakan hari ulang tahun tiap-tiap komunitas yang ada. Keberadaan para komunitas ini menjadi faktor tentang kesadaran masyarakat akan keberadaan grafiti di Kota Malang.

Periode Gelombang Baru menjadi periode paling mutakhir yang ditentukan dari tahun 2020 sampai 2024. Istilah “Gelombang Baru” dipilih untuk menggambarkan perubahan signifikan atau tren baru yang muncul dalam dunia grafiti Malang. Kata “gelombang” sering digunakan untuk mendeskripsikan gerakan atau tren yang datang dalam siklus atau fase baru. Periode ini ditandai pada masa wabah Covid- 19, para pelaku berupaya keras untuk beradaptasi dengan normal yang baru, dan diwarnai dengan perkembangan grafiti yang semakin pesat, kemudahan mendapatkan informasi tentang grafiti di luar Kota Malang menjadi titik penting sehingga lahir pola baru seperti melakukan kolaborasi dengan lingkup di luar grafiti.

Periode ini, dimulai pada masa Covid-19 melanda, semua kegiatan dibatasi untuk mencegah penyebaran virus, termasuk dalam skena grafiti yang terhenti dilakukan di jalan. Pada tahun 2020 sangat jarang sekali kegiatan grafiti dilakukan, baik acara grafiti jamming dan sketch jamming. Salah satu kegiatan grafiti yang sangat ditunggu adalah Indo Graff Day (Hari Grafiti Indonesia) biasanya dilakukan satu tahun sekali, komunitas grafiti di Kota Malang juga biasanya ikut meramaikan acara ini. Acara Indo Graff Day menjadi kegiatan ajakan jejaring wadah grafiti terbesar di Indonesia yaitu Gardu House, dengan mengajak para pelaku grafiti di seluruh Indonesia untuk memperingati Hari Grafiti Indonesia.

Dokumentasi Arsip Tahun 2021; Sumber: https://www.instagram.com/malanggrafitimovement/, 2024.
Dokumentasi Arsip Tahun 2022; Sumber: https://www.instagram.com/malanggrafitimovement/, 2024.

Pada era ini, perkembangan grafiti di Kota Malang mengalami banyak fenomena yang hadir, selain Covid-19 yang mampu mempengaruhi ekspansi produksi grafiti di Kota Malang, adanya tragedi seperti musibah erupsi Gunung Semeru, dan juga di tahun 2022 ada pula tragedi Kanjuruhan. Secara tidak langsung grafiti digunakan sebagai suatu alat untuk merespon kejadian-kejadian yang terjadi dan dialami oleh masyarakat Kota Malang. Adanya musibah Gunung Semeru menggerakan rasa kepedulian para pelaku grafiti terhadap korban yang tertimpa musibah, dengan melelang karya kanvas yang mereka buat secara kolektif yang dana hasil lelang tersebut akan disumbangkan kepada pihak korban.

Tragedi Kanjuruhan pada Oktober 2022, juga menjadi perhatian masyarakat di Kota Malang bahkan seluruh Indonesia, para pelaku menggunakan grafiti sebagai alat untuk menuntut keadilan untuk korban dalam tragedi Kanjuruhan. Hakikatnya, jika ditarik pada sejarah grafiti di Indonesia, grafiti menjadi suatu alat yang fleksibel dalam merespon setiap kejadian di suatu kota, karena penggunaan grafiti yang diproduksi dan dikonsumsi di ruang publik oleh para penggunanya, menjadi strategi yang tepat untuk dijadikan suatu alat untuk bersuara.

Seketika yang Tumbuh dan Berubah

Ketiga periode ini menampilkan perkembangan visual dan fenomena grafiti yang ada di Kota Malang pada serangkaian linimasa dari tahun 2004 sampai 2024. Upaya menyusun linimasa ini pada hakikatnya adalah usaha menginventarisasi, sekaligus mencatat sejumlah peristiwa yang secara umum terhitung penting, mulai dari pelaku grafiti yang ada di Kota Malang hingga peristiwa yang tidak tercatat dalam penulisan mana pun. Dengan tertumpu pada arsip, catatan, ingatan, dan foto yang telah melewati lika-liku ruang dan waktu, arsip-arsip ini menjadi langka, rusak, atau hilang.

Pembentukan periode ini dilakukan guna menjawab pertanyaan tentang bagaimana perkembangan grafiti yang ada di Kota Malang. Linimasa yang terbentuk menghadirkan tiga periode ini, menggambarkan awal mula kedatangan grafiti di Kota Malang yang dirintis oleh beberapa pelaku dengan berbagai upaya; mulai dari usaha keras dalam mencari referensi dan membentuk komunitas pertama kali di Kota Malang, hingga terus menggaungkan nama grafiti yang ada di kota ini.

Kemudian tren grafiti meningkat karena ekosistem pendukung grafiti mulai bermunculan. Kehadiran toko grafiti di Kota Malang mendorong lahirnya komunitas-komunitas besar di kota ini dengan membawa ledakan besar terkait grafiti di Kota Malang. Pada era yang paling mutakhir, terlihat proses eksplorasi dan kolaborasi dari upaya pelaku grafiti di Kota Malang dalam memberdayakan grafiti sebagai jembatan relasi antara pelaku grafiti dan masyarakat Kota Malang.

Akhirnya, proyek selama dua tahun ini dapat menggambarkan signifikansi budaya dari grafiti di Kota Malang dengan cara yang lebih terukur, menunjukkan bagaimana grafiti tumbuh dan berubah, serta diposisikan sebagai bahasa yang terbaru dalam deretan panjang inovasi budaya yang berkembang di Kota Malang.

Sejauh ini, keterkaitan visual grafiti dan sosial budaya Kota Malang berjalan bersamaan. Visual grafiti yang dibuat oleh pelaku Kota Malang menjadi tanda unik yang diproduksi oleh mereka. Visual tersebut menjadi ciri khas asal Kota Malang, dan ketika bentuk visual grafiti itu dihadirkan di kota lain, para pembaca atau pelihat visual tersebut akan langsung tertuju pada identitas lokal Kota Malang.

Harapannya, ini menunjukkan bahwa melihat visual grafiti telah menjadi kegiatan yang mampu memfasilitasi dialog dalam membentuk identitas diri, kolektif, maupun kota.

Helmi Zuhdi, atau Hel, lahir di Jakarta pada 18 Januari 1999, dan kini tinggal di kota yang sama. Ia adalah seniman, peneliti, dan penulis yang fokus pada seni jalanan dan seni rupa. Selama kuliah di Malang, ia aktif dalam kelompok seni dan pameran, yang membangkitkan minatnya pada grafiti. Pada 2022, Helmi memulai program magister untuk meneliti grafiti dari sudut pandang studi budaya. Kegiatannya mencakup penelitian, pameran, dan program menulis, yang terus memperluas wawasan serta keterampilannya di bidang seni dan budaya.