Membunyikan
Kakofoni

Tulisan oleh
Jemi Batin Tikal

Foto oleh
Iwan Kurniawan

Apakah yang dapat kita hayati dari sebuah bangunan joglo tua yang hampir rapuh di tengah arsitektur modern di sebuah kota kecil? Barangkali hanya sedikit, berkutat pada perkara sentimentalisme budaya tradisional yang terus digerus arus zaman. Susunan kayu jati yang menjadi bahan dominan penyusun bangunan, barangkali sebenar-benarnya kayu, tanpa makna lain. Namun, semua jadi berubah dan memiliki arti karena ada aktivitas manusia di dalamnya.

Ruang itu diberi nama Kakofoni. Ruang alternatif yang menyamar sebagai perpustakaan. Jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kakofoni berarti suara (musik) sumbang atau kasar yang menyakitkan pendengaran. Sementara dalam pengertian puisi, ia dianggap suatu hal yang indah sebagai satu jalinan artistik yang menggoda pembaca. Kakofoni berjarak 100 meter dari jalur rel kereta api, maka ketika kereta lewat, suara “mengganggu” memang benar nyata adanya.

Tempat atau ruang takkan menjadi apa-apa tanpa ada makhluk hidup yang mendiami, beraktivitas, serta bergerak di dalamnya. Aktivitaslah yang membuat suatu tempat menjadi hidup, barangkali juga berubah. Makhluk hidup yang menghidupkan Kakofoni disebut sebagai “sosok misterius yang banyak baca buku,” oleh Nur Sayyid Santoso Kristeva dalam tulisannya yang berjudul Literasi, Idealisme, dan Ruang Ekspresi.

Buku yang lebih akrab dengan aktivitas dan suasana sunyi jadi semacam jembatan yang membuatku bertemu dengan sosok misterius itu. Kami dipertemukan di Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa, Blora. Selepas dari kota jati itu, bersama kawan lain, kami terlibat dalam sebuah pengerjaan film dokumenter. Bermula dari pertemuan itu dan obrolan kecil, aku mengetahui bahwa sosok misterius itu tinggal di kota kecil Tulungagung dan mempunyai warung kopi. Jadwal buka-tutup sekehendak hatinya, hal tersebutlah yang membuatnya mendapat predikat warung kopi ugal-ugalan. Ruang dan kopi tadi bukan sekadar urusan transaksi jual-beli, tetapi menjelma pula sebagai ruang alternatif berlangsungnya kegiatan budaya-literasi.

Ketika aku bertandang ke Tulungagung, segera disambut dengan agenda nonton film bareng, kemudian mendiskusikannya. Kegiatan ini diberi nama Serangan Layar. Kegiatan menonton ini merupakan upaya mengapresiasi film garapan sineas dalam negeri, baik film di masa lalu maupun film-film hari ini.

Sosok yang menggerakkan Kakofoni ialah Iwan Kurniawan, lelaki kelahiran Paya Pasir, kota Medan. Ia memiliki banyak nama, salah satunya Iwan Tualang. Nama belakang “Tualang” ia dapatkan karena senang bepergian ke berbagai tempat. Bahkan dirinya punya agenda yang disebut Bincang Tualang. Agendanya ialah mengadakan diskusi buku atau wacana tertentu yang membidik audiens lebih luas, dikelola swadaya, dan bergerak secara klandestin. Bincang Tualang juga menjadi program paling tua, bahkan kegiatan itu sudah ada sebelum Kakofoni berdiri. Dikarenakan hadir sebelum adanya Kakofoni, kegiatan ini lebih melekat kepada sosok Iwan dengan lokasi diskusi tidak terikat tempat dan waktu.

Iwan mulanya datang ke kota Tulungagung karena pelesiran ke rumah kenalan. Awalnya ia tak terlalu berkesan dengan kota ini karena panas, tetapi setelah beberapa kali datang, mulai menikmati. Ia menghabiskan waktu belasan tahun di Kota Kembang dan banyak barang-barangnya masih di sana. Selepas angkat koper dari Bandung, Iwan pernah singgah-menetap sebentar di kota Solo dan Jogja. Jiwa tualangnya tak pernah padam. Ia memilih Tulungagung dengan pertimbangan adanya stasiun kereta api sehingga memudahkan perpindahan.

Selama di Tulungagung, Iwan sering diundang mengisi acara bertema literasi dan aktivisme di kampus-kampus kota terdekat. Ia adalah seorang yang punya banyak kawan, kenalan, maupun jejaring komunitas. Hal tersebut memudahkan mobilitas ke daerah lain. Konsep perjalanan ke luar kota dinamai Langlang Tualang, merupakan agenda paling baru bertujuan menghadiri acara budaya, mengunjungi situs-situs tertentu, atau menemui tokoh literasi di kota tersebut. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai ziarah yang mengandung muatan sejarah dan literasi. Iwan ingin mengajak anak-anak muda merasakan “piknik yang beda” dan catatan perjalanan ialah produk akhirnya.

Kakofoni juga jadi tempat menginap sementara para musafir literasi yang mampir ke kota kecil ini. Pertemuannya dilabeli Jumpa di Kakofoni, mengarah pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan momentum seperti hari kelahiran atau kematian tokoh penting maupun perayaan hari tertentu. Sering kali diagendakan secara insidental, misalnya karena ada tokoh yang sedang mampir ke Tulungagung atau bisa pula menjadi wadah masyarakat untuk melaksanakan acara.

“Kakofoni yang pertama kali saya temui adalah yang berwujud warung kopi/kedai sederhana di kota Tulungagung. Namun, tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa itu adalah ruang temu masyarakat akar rumput. Karena di satu tempat Anda akan menemukan berbagai orang dari banyak latar belakang bersinggungan di tempat yang sama, dari aktivis, seniman, pekerja kerah putih, kerah biru, hingga yang tidak termasuk di antara keempatnya,” mengutip Andika Wahyu, seorang sineas muda.

“Ya, sesuai ideologi Kakofoni yang cenderung melawan arus. Ibarat musik yang tak punya pattern khusus, tetapi tetap bisa harmonis. Tematiknya tersegmentasi, jadwal kegiatan random, tetapi juga masih bisa menyatu serta punya tujuan jelas,” ujar Iwan. Ketika ditanya dari mana dana diskusi dan perjalanan selama ini, sembari berkelakar Iwan menjawab, “Dari Tuhan yang Maha Esa.” Sumber dana Iwan jika dirinci berasal dari usaha warung kopi, berjualan buku, atau editor sesekali. Ia menuturkan, ketika di Jogja, penjualan bukunya cukup laris dan buku-buku produk Kakofoni banyak berasal dari kota pendidikan tersebut.

Iwan awal mula menjual buku di lokapasar ketika masih di Bandung pada kurun 2007. Dulu, ia menjual buku pada situs Friendster, tetapi mulai dikenal sebagai “penjual buku” saat berjualan di media sosial Facebook. Kini Iwan menawarkan buku-buku di Instagram atau status WhatsApp yang bertumpuk dengan status pribadi kesehariannya. Selain berjualan via digital, Iwan juga sering membuka lapak jalanan, nebeng di acara tertentu.

Bung Iiw, panggilan lainnya, dianggap sebagai “sosok misterius” karena orang-orang tak terlalu tahu kehidupan pribadinya sebelum di Tulungagung. Lelaki yang mengagumi penulis kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, itu punya cara khusus dalam menghormati Pram, salah satunya agenda bertajuk Kenang-Kenanglah Pram, yaitu kegiatan yang khusus untuk mengenang karya maupun buah pemikiran dari Pram. Acara ini diadakan di bulan kelahiran Februari dan hari kematian Pram di bulan April. Selain itu ada pula agenda Klab Baca Toer, yaitu diskusi buku yang mendedikasikan karya klan Toer, seperti Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, dengan membaca, mengulas, dan mengenalkan karya-karya mereka ke khalayak ramai.

Iwan sering mengajak pelajar atau mahasiswa di Tulungagung untuk ikut agenda Tualang Buku, yaitu mendiskusikan sebuah buku di Tulungagung atau ke luar kota. Ada pula Tualang Baca, praktiknya sama dengan tadarus, yaitu membaca sebuah buku bersama, per halaman, bergiliran hingga tamat dalam beberapa kali pertemuan.

Persentuhannya pertama kali dengan buku justru diawali lewat musik dan musisi. Ia kagum dengan musisi atau anak jalanan era 90-an yang pintar, kritis, tidak gampang dibodohi, serta punya karakter. Iwan kala itu mengidolakan grup musik Homicide. Sedangkan para penulis, ia suka karya dari Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Avianti Armand, John Steinbeck, juga George Orwell. Iwan berandai-andai, seandainya menjadi penulis, ia akan menuliskan karya yang minim dialog.

Baginya, masa depan perbukuan atau literasi Indonesia berada pada gerakan akar rumput, maka dalam menggerakkan acara di Kakofoni, Iwan memilih jalur komunitas dan berjejaring, karena semarak dengan jiwa kebersamaan, tanpa pamrih, serta kenyang dengan kepahitan. Menurutnya, masalah yang dihadapi ialah soal konsistensi, energi aktivis di dalamnya, serta keberlangsungan yang megap-megap

Iwan agak pesimistis terhadap gerakan literasi yang digalakkan oleh pemerintah, yang menurutnya hanya berorientasi pada seremonial atau selebrasi. Sedangkan dunia kampus, yang seharusnya menjadi lidah penyambung dengan masyarakat, justru berkutat pada perkara pragmatis—sekadar mengejar akreditasi, gelar, dan gaji belaka—tanpa mempedulikan gerakan akar rumput.

Di Tulungagung, hanya Kakofoni yang konsisten menggerakkan kegiatan diskusi. Di tempat lain, diskusi cenderung bermuatan politik praktis, seperti mencari simpatisan, dan terasa kaku. Namun di Kakofoni, siapa saja boleh datang dan mendiskusikan apa saja.

Iwan sejauh ini belum pernah mengajukan dana literasi ke pemerintah. Ia tak ingin merumitkan diri dengan tetek-bengek administrasi yang, menurutnya, menguras tenaga, pikiran, dan waktu. Iwan hanya ingin menyemarakkan literasi tanpa beban apa pun. Lagi pula, ia merasa bahwa perwakilan di daerahlah yang seharusnya mengajukan kantong-kantong literasi atau budaya tersebut ke pemerintah pusat.

Kisahnya memang tak sedramatis Carlos Brauer, tokoh dalam novel Rumah Kertas karya Carlos María Domínguez, yang menjadikan buku-buku sebagai batu bata untuk membangun rumah. Namun bagi Iwan, buku adalah rumah—sesuatu yang selalu menyertainya, melindunginya, dan memberi hidupnya makna di tengah dunia yang materialistis dan semakin menjauhi pengetahuan, seni, serta sastra. Iwan punya selera tertentu: ia hanya memburu buku-buku yang ia sukai, seperti yang bertema musik, politik, budaya, jurnalistik, dan sastra. Ia juga hanya ingin menjual buku-buku berkualitas.

Yang mungkin dapat mengubah keadaan, meski perlahan dan kita belum tahu akan seperti apa hasil akhirnya, adalah inisiatif orang-orang yang selama ini terpinggirkan—entah karena kemiskinan, gender, atau tempat tinggal mereka yang jauh dari pusat negara—untuk membangun ruang-ruang baru agar kemudahan dapat dirasakan oleh semua orang. Merekalah yang seharusnya disebut sebagai penentu masa depan sastra Indonesia.

Penggalan kesimpulan di atas adalah penutup esai bertajuk Curriculum Vitae tulisan Dea Anugrah, yang tergabung dalam buku Kenapa Kita Tidak Berdansa? Ruang-ruang kecil seperti Kakofoni atau lainnya di sudut-sudut kecil negeri ini begitu rentan. Sewaktu-waktu, mereka bisa memudar atau bahkan hilang sama sekali. Namun usaha mereka yang mandiri dan berani tetap layak dicatat.

Aku teringat pada puisi berjudul Catetan Th. 1946 karya Chairil Anwar: “lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu.” Sepantasnya, yang dikenang bukan hanya mereka yang besar atau berpusar di arena pusat saja. Hal-hal kecil dan terpencil pun layak diberi tempat dalam ruang sejarah dan ingatan kita. Seperti yang ditulis Chairil di baris lain puisinya, keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.

Jemi Batin Tikal, tinggal di Bantul, Yogyakarta. Ia belajar menulis puisi, cerita pendek, & esai. Mengisi harinya dengan membaca, buruh di penerbitan, & mengeditori buku. Kumpulan puisi Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara Tentang Cinta terbit Oktober 2023 adalah buku puisi pertamanya. Buku tersebut dipamerkan dalam festival “The Voices of Archipelago” di Broonbek Museum, Belanda, Mei 2024. Ia sedang mengerjakan buku puisi kedua. Penulis bisa dihubungi via media sosial Instagram/Facebook: @jemibatintikal & surel batintikalj@gmail.com