Ketegangan di Taman: Tumpang Tindih Pengelolaan Ruang Publik

Tulisan oleh
Benny Widyo

Kadang, ada saja orang yang merasa perlu menjadi polisi moral di ruang publik.

Persis seperti yang viral baru-baru ini, ada seorang so-called influencer yang cari muka dan “betah isin”, kalau kata warganet. Dia memvideokan dengan point of view dirinya sedang mengajak petugas Satpol PP untuk menyuruh berhenti seseorang yang sedang bermain sepeda BMX di skatepark, bagian dari Taman Aloon-Aloon Tulungagung. Alasannya? Karena setiap hari Minggu area tersebut digunakan untuk Car Free Day, banyak pengunjung, termasuk anak kecil. Jadi, menurutnya, arena skate seharusnya tidak digunakan untuk bermain skateboard atau sepeda pada hari itu. Argumennya: “Ya menurut saya kondisional,” katanya, meminta agar bermain skate atau BMX di skatepark hanya dilakukan pada hari kerja, Senin-Sabtu. Hari Minggu subkultur libur dulu. LOL. Petugas dengan polos dan sok paling benar menyatakan bahwa orang yang bermain BMX tersebut harus berhenti karena melanggar Perda. Namun, tidak jelas Perda mana yang dimaksud. Aku hanya menemukan Perbup Tulungagung no. 26 tahun 2017 yang mengatur tentang Pelaksanaan Hari Bebas Kendaraan Bermotor, tidak spesifik melarang aktivitas BMX di skatepark pada hari Minggu.

Serangan warganet ke mas-mas influencer kuliner Malaysia ini tidak perlu kuteruskan lagi. Malah, mari berterima kasih padanya karena telah membuka pintu perbincangan tentang tumpang tindihnya ruang publik, dalam konteks ini taman dan alun-alun, serta ruang-ruang untuk aktivitas subkultur yang tidak dikelola dengan baik.

Aku ingin membahas persoalan ini menggunakan teori produksi ruang oleh Henri Lefebvre. Ruang, menurutnya, dapat diuraikan dalam tiga konsep: (1) ruang representasi, yaitu ruang yang dihayati, dialami, dan diinterpretasikan oleh individu atau kelompok; (2) representasi ruang, yaitu cara ruang dirancang, direncanakan, dan dikendalikan oleh otoritas; dan (3) praktik ruang, yaitu cara ruang digunakan dan dihidupi dalam keseharian.

Mari kita perjelas satu per satu mengacu pada yang viral-viral ini. Pertama, sebagai ruang representasi, bagi teman-teman komunitas skate atau BMX, skatepark lebih dari sekadar fasilitas fisik. Ia adalah tempat ekspresi diri dan komunitas. Sementara itu, taman dipahami sebagai tempat rekreasi dan relaksasi. Subkultur seperti skate dan BMX memang seringkali dipandang sebelah mata oleh budaya utama. Padahal aktivitas ini tidak hanya sekadar olahraga dan hiburan, mereka adalah ekspresi budaya, gaya hidup, dan bentuk perlawanan terhadap norma-norma kaku yang sering mengekang kreativitas. Mengabaikannya sama saja menegasikan keragaman ekspresi yang memperkaya kehidupan kota.

Kedua, representasi ruang: dari perspektif perencanaan kota, skatepark dirancang sebagai fasilitas publik untuk olahraga dan hiburan. Representasi ruang ini melibatkan regulasi dan perawatan skatepark sebagai tempat yang aman dan inklusif. Di sisi lain, taman dihadirkan untuk memenuhi fungsi ekologis, estetika, dan sosial. Representasi ruang dari taman mencakup tata letak dan aturan penggunaan, seperti zona bermain, area piknik, area olahraga, dan lainnya. Terakhir, pada praktik ruang, skatepark melibatkan berbagai aktivitas komunitas subkultur, seperti berkumpul, berlatih, berkompetisi, dan bersosialisasi. Sementara di taman, praktik ruang mencakup aktivitas seperti jogging, piknik, bermain anak-anak, hingga bersantai bersama keluarga.

Melihat bagaimana ruang-ruang tersebut diuraikan, menempatkan skatepark di Taman Aloon-Aloon menjadikannya tumpang tindih. Praktik-praktik pemaknaan ulang tentu tidak bisa dihindari. Orang-orang dan otoritas memaknainya melampaui rencana awalnya, seperti bagaimana jalan-jalan atau taman Aloon-Aloon ini menjadi ruang untuk Car Free Day setiap hari Minggu. Memberikan makna baru pada momen tertentu ini berujung pada mas-mas influencer mempermasalahkan mas-mas yang bermain sepeda BMX di skatepark pada hari Minggu.

Dari representasi ruang, taman diharapkan menjadi tempat yang tenang untuk rekreasi dan relaksasi, sementara skatepark digunakan untuk bermain atau berlatih—tentu ini tidak akan menghadirkan suasana tenang. Sangat wajar jika muncul ketegangan: pengunjung taman terganggu, aktivitas subkultur merasa tidak diterima dan dipinggirkan. Aku yakin ini bukan pertama, mungkin juga bukan yang terakhir, jika tidak ada pengelolaan yang lebih baik dan berperspektif inklusif. Menghadirkan skatepark di taman Aloon-Aloon ini bisa jadi (dan sudah terbukti) mengabaikan dinamika sosial dan potensi konflik. Terlebih pada hari Minggu, dengan adanya Car Free Day, kedua aktivitas yang terjadi bersamaan di ruang yang sama menyebabkan benturan antara praktik ruang yang berbeda.

Hal ini bisa dipahami melalui pemikiran Lefebvre lainnya yaitu tentang konsep conceived dan perceived space. Dalam konteks Taman Aloon-Aloon, skatepark dan taman ini adalah contoh dari conceived space–ruang yang dirancang dan diatur oleh otoritas untuk tujuan tertentu, seperti rekreasi atau olahraga. Namun, ketika ruang tersebut digunakan oleh masyarakat, ia berubah menjadi perceived space. Para pengunjung, termasuk komunitas subkultur, memiliki cara masing-masing dalam memaknai dan menghidupi ruang tersebut.

Menarik juga untuk melihat bagaimana alun-alun berubah dan terus dimaknai ulang dalam seratus tahun terakhir. Aku menemukan beberapa arsip foto tentang alun-alun: digunakan untuk bermain dan kompetisi tenis, rampokan macan, hingga dibangunnya gapura kehormatan Tionghoa pada masa kolonial Belanda. Ingatan seorang informan menceritakan tentang pohon beringin yang digunakan untuk berteduh dan berjualan. Masa-masa di mana alun-alun tersebut mengikuti pemaknaan kerajaan: tanah lapang untuk berkumpul, mengabarkan berita, tempat bertemunya raja dan rakyat. Tata letak alun-alun dulu: masjid agung di barat, pendopo di utara, penjara di timur, dan jalan masuk dari selatan.

Kemudian, alun-alun berubah menjadi Taman Kusuma Wicitra, menunjukkan transformasi dalam pemaknaan dan praktik sosial. Alun-alun tidak lagi mengokohkan inisiasi otoritas dan melanggengkan peninggalan monarki serta kolonial, tetapi menjadi ruang untuk ekspresi budaya kontemporer. Otoritas melihat taman ini sebagai cara untuk menyediakan ruang hijau yang fungsional, mendukung kesehatan mental dan fisik warga, serta memperindah kota.

Representasi ruang kemudian diperluas dengan menambahkan skatepark untuk memenuhi kebutuhan anak muda dan subkultur. Meskipun ini adalah respons terhadap tren dan kebutuhan baru, kita harus waspada. Kemenangan kecil seperti street art yang diwadahi untuk memperindah kota bisa menekan kekuatan aslinya sebagai alat protes. Begitu juga dengan skatepark—jangan sampai hanya menjadi fasilitas asal-asalan perwujudan alat tawar politisi.

Aktivitas di ruang publik sangat cair. Di satu momen bisa sangat terstruktur dan kolektif, seperti pasar tumpah saat Car Free Day, kegiatan seni budaya, atau hiburan. Di momen lain, ruang publik digunakan untuk aktivitas individu atau kelompok kecil seperti olahraga atau bersantai.

Meskipun bukan tugas kita untuk memberikan solusi, mari kita bantu otoritas yang tampaknya menjalankan-tugas-apa-adanya ini. Desain ulang atau penyesuaian bisa menjadi langkah awal—memisahkan secara fisik atau memberikan batasan yang jelas antara area taman dan skatepark untuk mengakomodir warga dan menghindari ketegangan. Pengelolaan waktu seperti yang diusulkan mas-mas viral bisa dipertimbangkan, tapi jangan asal bikin kebijakan. Adakan dialog antara komunitas pengguna ruang publik tersebut, lalu terjemahkan hasil dialog itu ke dalam kebijakan dan desain yang lebih inklusif. Sebagai bentuk rekonsiliasi, bisa juga diorganisir acara yang mempertemukan beragam kalangan, sehingga ruang publik ini menjadi lebih inklusif dan multifungsi.

Pada akhirnya, persoalan ini menunjukkan betapa pentingnya pengelolaan ruang publik yang inklusif dan peka terhadap kebutuhan masyarakatnya. Ruang publik seharusnya menjadi tempat di mana berbagai kelompok masyarakat bisa beraktivitas berdampingan dengan damai, saling menghormati kebutuhan dan ekspresi masing-masing. Ketegangan antara pengunjung taman dan komunitas subkultur adalah cerminan dari dinamika sosial yang butuh penanganan bijak dan tidak boleh diabaikan. Semoga dari yang viral-viral ini, otoritas dan kita semua bisa belajar bahwa ruang publik bukan hanya soal yang fisik, tapi juga spirit dari warga yang menghidupinya.