Mupakara KpKp:
Merawat Ingatan Melalui PuisI

Tulisan oleh
Michael Djayadi

Berangkat dari ketertarikan saya terhadap gagasan “Mupakara: Kerja Perawatan di Tengah Kerentanan,” yakni tema atau topik utama yang telah diselenggarakan oleh Biennale Yogyakarta melalui perhelatan Simposium Equator 2024 awal Oktober lalu, saya mencoba merefleksikan hasil pembacaan simposium tersebut kepada hubungannya terkait kerja-kerja perawatan yang diinisiasi oleh satu kolektif pembacaan (dan responsif) puisi di kota Malang, yaitu Kelompok Puisi Kata Pengantar (selanjutnya akan ditulis KpKp).

KpKp sendiri, per bulan September tahun 2024 ini, telah berusia 1 tahun—usia yang barangkali, untuk sebuah kolektif kecil, terhitung panjang dan penuh jalan belukar serta berliku.

Saya pertama-tama mengenal dan kemudian tertarik menjadi bagian di dalamnya bukan tanpa alasan. Akan sangat klise dan terkesan FOMO (Fear of Missing Out) apabila saya datang ke acara pembacaan puisi mereka tanpa kesadaran yang utuh bahwa saya adalah penikmat dan pembaca puisi, yang kebetulan juga seorang penulis puisi, atau lebih akrab dengan istilah penyair.

Lebih dari urusan personal, katakanlah, semisal agar puisi saya lebih banyak mendapat apresiasi dan afeksi personal lainnya, alasan saya bergabung di KpKp adalah karena saya merasa inklusivitas kelompok ini merupakan kaki terkuat yang menyokong pilar-pilar prinsipil lainnya sebagai kerja solidaritas.

Relevansi Gagasan Perawatan dan Ekosistem Seni yang Suportif 

Selain inklusivitas di dalamnya, saya turut mengalami kecenderungan berbagai ruang-ruang pemikiran yang seimbang lagi setimbang. Ketika menghadiri Rabu setiap dua minggu sekali, saya hampir tak merasakan adanya ketimpangan intelektual atau bias-bias kelas lainnya.

Kalaupun ada gesekan antarpembaca, saya bisa katakan bahwa perbedaan di antaranya masihlah perkara minor, seperti referensi puisi mana yang menjadi patron licentia poetica pengarang satu dengan lainnya, atau gaya ungkap dalam semesta puisinya yang kadang masih perlu dijaga kadar kesesuaiannya terhadap audiens lainnya. Persis seperti aturan tertulis—yang lambat laun menjadi kebiasaan tak tertulis—KpKp, kira-kira demikian:

“Membacakan apa saja yang mungkin, dengan catatan (yang mestinya dipahami siapa saja): puisi atau karyamu tidak bermuatan negatif seperti seksis, rasis, atau menyepelekan peserta lainnya sehingga sekurang-kurangnya dapat menihilkan ketidaknyamanan. Beri apresiasi seperti tepuk tangan atau ungkapan sederhana mengapa karya teman lainnya bagus, keren, dan seterusnya. Dan, jangan pergi atau meninggalkan ruangan selama ada yang masih membaca puisinya.”

Saya seperti tidak sedang berada di forum formal kesusastraan yang adiluhung penuh privilese rigid, yang ketika membacakan puisinya mesti berindah-indah belaka. Saya merasakan kesenangan dan kesederhanaan orang-orang biasa, di mana penerimaan, pelibatan, dan egaliterianisme ialah pintu utamanya.

Ruang aman, nyaman, dan konsistensi aturan di dalamnya bisa jadi adalah beberapa kunci keberhasilan mengapa banyak orang percaya akan eksistensi KpKp.

Terlihat mudah memang peran yang digawangi Danny, Azha, dan Iqbal untuk menakhodai komunitas ini. Namun, lapisan yang sebenarnya tak nampak di permukaannya jelas tak bakal dibawa mereka menyembul ke para anggotanya. Seperti, misal, pertanyaan substansial ketika dimensi berkomunitas tak lagi soal pribadi kepada pribadi saja:

“Sejauh mana langkah dan spirit bersama ini bakal memberi warna baru di arena kesenian—untuk tidak menyebutnya kesusastraan—di kota Malang, dan apakah keberadaan KpKp mampu menawarkan alternatif ruang kolektif yang lain, yang di dalamnya tak ada gap dan egoisme “abang-abangan”?

Lalu, di mana sebenarnya parameter berkomunitas di kultur “arek” khas Malang yang katanya selalu beranak-pinak setiap tahunnya, tetapi setelahnya tidak akan bertahan lama karena sifat kota perantauan ini yang tidak bisa bersatu karena masing-masing kepentingan dan nilai yang dibawa selalu menjadikan mereka tidak ada yang menonjol?

Padahal, sebaliknya, bukankah seharusnya warna-warni seperti corak deretan rumah di kampung wisata tematik Jodipan selalu dapat diraih selama komunitas-komunitas serupa bahkan lintas disiplin mampu bekerja bersama? Tidak ada yang perlu harus kelihatan menonjol sebagai garda terdepan dan terpusat, kan?

Persis seperti semangat kontemplatif berkesenian yang ditawarkan Biennale Yogyakarta tadi di dalam kata pengantarnya:

“…kerja-kerja perawatan dalam dimensi kesenian dan kebudayaan dapat menjadi cara alternatif dari gagasan solidaritas yang bertujuan untuk mengurai bentuk-bentuk kerentanan dan merefleksikan ulang relasi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya.”

(Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta, The Equator Vol. 12 No. 3, hal. 34)

Zine sebagai Medium: Ruang Dialogis Merawat Ingatan 

Kalau banyak yang mengatakan dan otomatis mengimani pernyataan bahwa satu-satunya aturan membuat zine adalah tidak ada aturan, maka kiranya izinkan saya tambahkan satu lagi, yakni aturan implisit yang otomatis menjadi nyawa bagi setiap orang yang mengerjakan zine: merawat ingatan. Mutlak sudah, sebab tanpa kerja-kerja perawatan ini, nonsens kita berkata bahwa zine yang dikerjakan adalah kerja kolektif. Zine menjadi zine karena ia adalah bagian dari ingatan bersama.

Upaya demikian telah setidaknya dikerjakan oleh KpKp di dalam tujuh edisinya merilis zine puisi, yang semula namanya hanya kpkpress satu sampai tiga, kemudian di cetakan edisi keempat mulai menemukan nama autentiknya: “Pembacaan (Rabu).” Zine dalam bentuknya, dari yang paling sederhana — semisal cetakan mandiri hitam putih tanpa pernak-pernik visual sekalipun — sampai yang wujudnya bisa dikategorikan art-book karena proyeksi dan kombinasi teks serta visualnya bernilai ekonomis tinggi, tetaplah suatu bentuk usaha menjaga dan merawat ingatan.

Di dalamnya — dalam hal ini kontekstualisasinya adalah Pembacaan (Rabu) — saya berjumpa ruang meriung yang sakral tetapi, di saat bersamaan, terasa hangat dan personal sekali. Bagaimana tidak? Melalui cetakan mandiri KpKp ini, ada pelbagai entitas dan suara yang tidak meminta harus didengarkan, namun setidaknya perlu untuk diakrabi sebagai ruang berdialog — baik dengan suara pencerita langsung maupun tokoh imajiner cerita di dalam setiap puisinya.

Menata, meraba, dan merawat yang terserak tidak mesti berawal dari kumpulan data dan catatan atas sejarah yang berkelindan di antara tokoh besar, peristiwa besar, dan narasi besar semata. Keberadaan narasi besar ini, pada dasarnya, adalah bentuk okupasi borjuasi demi mendapatkan legitimasi tangan kuat negara, yang nahasnya selalu beku dan kaku di dalam kaca eksklusif “museum” negara. Artefak semacam ini hanya dikeluarkan dari kotak kacanya saat selebrasi acara penting pada tanggal-tanggal monumental tertentu.

Sebaliknya, perawatan bisa dilihat dan dikerjakan dalam praktik keseharian yang “sederhana” namun sarat makna, yang senantiasa sanggup menjadi manifestasi pengetahuan kultural. Implikasi nilai perawatan ini dapat diteroka dan dicecap sumbu manisnya dari antologi puisi di tiap edisi zine-nya. Tidak akan kita temukan, misalnya, puisi “Derai-Derai Cemara (1949)” karya si binatang jalang Chairil Anwar. Jikapun mesti menangkap sense muram dan pesimistis seperti yang digaungkan dari larik-larik subversif Chairil: hidup hanya menunda kekalahan / tambah terasing dari cinta sekolah rendah / dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan / sebelum pada akhirnya kita menyerah, puisi-puisi dengan napas serupa, bahkan lebih variatif, eksploratif, dan enigmatik, sanggup terangkum melalui zine “Pembacaan (Rabu).”

 

Sebagai contoh, puisi “K (Aku, Kamu, Kita, Keadaan Kritis)” karya Baitiyah Fadli menangkap kekesalan romantis anak muda yang didikte keresahan domestik kapitalis hegemonik +62: Ini adalah puisi cinta. Patah hati pertama di tahun ini karena sebelumnya hanya patah karena penjahat HAM naik tahta, bersama dengan sohib karir to-be-nya yang from zero to number two lancang mengangkangi 270 juta kepala saat makan malam keluarga… (kpkpress vol. 2).

Perbincangan mengenai kerja perawatan menjadi penting bukan karena ingin melawan, katakanlah, ketidakadilan dan keterbengkalaian rezim, ketimpangan kelas sosial dan sebagainya, namun juga bisa digunakan sebagai mesin pengingat terhadap lanskap yang lebih luas dan daya jangkaunya mampu memberikan suar cahaya rasa aman dan diterima. Seperti di KpKp kita tentu bisa menuliskan puisi tentang kerentanan posisi perempuan hari-hari ini, kemudian bagaimana ketertindasan sebuah suku di pelosok dan pedalaman daerah tertentu disabotase ruang hidupnya, yang dewasa ini imbasnya terbentang sampai ketiadaan ruang terbuka hijau, hingga terampasnya tanah-tanah adat di berbagai daerah demi kepentingan segelintir pihak nirempati dalam wujud terbarunya: wacana Food Estate

Tidak berhenti kepada suara-suara kepedulian yang sifatnya politis, puisi-puisi anak Kp (singkatan panggilan anggotanya) juga kerap menampilkan kejadian dan narasi orang-orang biasa. Hal-hal yang mungkin menurut kacamata orang lain tak memiliki sumbangsih kerja perawatan universal, misalnya. Namun, bukankah suara dan warna personal demikian adalah bagian dari kerja-kerja perawatan subtil dan bermakna juga? Dan, bukankah kebutuhan untuk berbagi cerita, dengan bentuk paling sederhananya adalah dengan berdialog, juga merupakan gerbang awal memulai menyambung lidah ingatan? Atau, sepakatkah kita bahwa merawat ingatan selalu bermula dari usaha saling bercerita dan mendengarkan, sebelum adanya penerimaan dan menancapnya obrolan demi obrolan sebagai bibit kerja perawatan?

Keluh kesah pekerja kerah biru, patah hati beserta kesukaran melewati fase moving on, kegugupan menghadapi wawancara kerja, kaotiknya keresahan pribadi di paruh usia 20-an, rasa rindu seorang istri sekaligus ibu kepada almarhum suaminya dan anak-anaknya yang berada di kota jauh, serta konflik personal lainnya tetaplah penting untuk dicatat. Rangkaian cerita ini, meskipun tampak sederhana, tetap beririsan dengan upaya merawat dan memanjangkan napas ingatan setiap individu. Secara ajaib, pengalaman-pengalaman ini kerap mampu menjalin koneksi dengan orang lain, tanpa perlu dihalangi oleh sekat-sekat seperti keharusan mengenal, sepenanggungan, atau syarat-syarat formal lainnya yang kerap dianggap wajib dalam kerja kolektif dan solidaritas.

Solusi dan Konklusi

“Jangan buang waktu Anda mengejar kupu-kupu. Perbaiki kebun Anda, dan kupu-kupu akan datang,” tegas Mário Quintana, penulis dan penerjemah Brasil.

Setelah kerja-kerja perawatan yang masih dan terus diusahakan oleh KpKp dalam setiap rilisan zine puisinya, ataupun kelak termanifestasi dalam event-event bersama kolektif seni lainnya di kota Malang atau bersama rekan partisipan lainnya yang memiliki napas serupa, saya yakin efek semangat kolektif yang perlahan besar ini akan menuai buahnya.

 

Kebun yang dibangun dan disiangi terus-menerus oleh setiap anggota KpKp akan mengundang warna-warni kilau sayap kupu-kupu. Semangat merawat ingatan di dalam setiap untai puisinya niscaya akan mampu menggerakkan dan mengantarkan rekaman ingatan-ingatan lainnya, yang ombaknya akan semakin besar dan nyaring diperdengarkan kepada siapa saja dan oleh siapa saja.

Seperti pesan metaforis dalam kutipan sebelumnya, keberadaan dan keberanian KpKp bertahan adalah siasat yang tak boleh dianggap remeh hanya karena hasil pembacaan pemikiran-pemikirannya belum menjadi corong pembeda. Selama api komunitas ini masih menyala—sekalipun ia hanya nyala dalam sekam kecil—semoga usianya lebih panjang dari potongan puisi Chairil: “Aku mau hidup 1000 tahun lagi.”

Akhirnya, saya ingin mengutip deskripsi di flyer postingan Instagram mereka yang mula-mula, dan kiranya ini tetap menjadi ujung tombak komunitas ini dalam menyebarkan benih perawatan yang baik:

“harapannya, sih, kp kp ini bisa jadi ruang untuk menumbuhkan & berkumpul & saling dukung & mengapresiasi puisi satu sama lain.
semua bisa datang dan membacakan puisinya atau puisi orang lain atau sekadar menikmati acara.
semoga bisa jadi tempat yang baik.” (10 September 2023)

Michael Djayadi, lahir di Batu 21 Mei 2000. Sewaktu di Malang sempat berkegiatan di komunitas Pelangi Sastra dan Kelompok Puisi Kata Pengantar (KpKp). Saat ini menetap dan bergabung di Komunitas Kutub, Yogyakarta. Buku puisinya yang telah terbit: Sebelum Burung-Burung Melawan Gravitasi (Pelangi Sastra, 2021). Puisi-puisinya tersebar di beberapa media daring seperti buruan.co, Koran Tempo, bacapetra.co, basabasi.co, Kalam, serta termaktub dalam beberapa antologi bersama. Pernah diundang di Borobudur Writers & Cultural Festival 2023, serta Festival Sastra Kota Malang 2023 dan 2024. Ia sedang menyiapkan calon buku puisi keduanya.