Secuil Ujar Dari Lamongan:
Stereotip Orang Berdasar Asal Itu Perlu Dipertanyakan Lagi
Tulisan oleh
Ismail Noer Surendra
Foto oleh
Very Makinul Faqih
Menstereotipkan kota orang dengan suatu hal yang sebetulnya kurang kita pahami, barangkali merupakan suatu hal yang membuatmu terlihat konyol. Bercerita banyak hal tentang sebuah kota dengan seseorang memang salah satu cara untuk akrab yang paling jitu. Di satu sisi, kita bisa menjadi sosok yang terlihat berpengalaman, punya banyak referensi, berwawasan luas, juga berliterasi. Tapi di sisi lain, jika tidak mampu menjelaskan argumen tersebut dengan betul, kita akan menjadi rawan menimbulkan pertikaian.
Saya ambil contoh kota asal saya, yaitu Lamongan. Banyak sekali orang akan menyebut saya sebagai pedagang pecel lele atau soto, tidak boleh makan lele, anak pantai, ketika menikah harus perempuan yang melamar duluan, pecinta sepak bola, hingga bahkan teroris. Padahal, jika ditelaah lebih lanjut, Lamongan mempunyai keragaman yang bermacam-macam hingga sulit untuk digeneralisir. Bermacam contoh stereotip yang tadi disebutkan memang sebetulnya ada di Lamongan. Namun, apakah orang Lamongan seluruhnya seperti itu? Tentu saja tidak.
Kabupaten Lamongan, menurut saya yang pengamat budaya amatiran ini, mempunyai budaya yang heterogen. Hal tersebut bisa didasarkan dari letak geografis, agama, sejarah, antropologi, gastronomi, dan beragam kajian ilmu sosial lainnya. Bagi saya yang menghabiskan masa kecil hingga SMP lalu berpindah-pindah kota untuk menimba ilmu dan bekerja, saya merasa semua contoh yang disebut sebagai Manusia Jawa ada di Lamongan. Subkultur budaya yang ada di Jawa macam: Arek, Mojopahitan, Mataraman, Pesisiran, Santri, bahkan hingga Madura—semua tersedia di Lamongan.
Dari Islamnya saja sudah sangat bermacam-macam. Dari Islam Abangan hingga Putihan, beribadah dengan memakai tasbih hingga pakai kemenyan, atau bersyiar lewat sholawat hingga dangdutan. Tinggal di Lamongan, kita akan menjumpai banyak hal yang mungkin nyeleneh, namun hal tersebut sebetulnya biasa saja. Di satu desa kita bisa melihat adanya sedekah bumi dengan bermacam ritual yang sangat sakral. Namun, setelah berpindah ke desa yang lain, kita menjadi melihat keberislaman dengan cara beribadahnya yang tertib. Gambaran tersebut sebetulnya bisa kita baca lewat novel Kambing dan Hujan. Dalam novel tersebut, Mahfud Ikhwan menggambarkan dengan sangat baik dan indah tentang fenomena keberagaman keislaman di Lamongan.
Jika ditelaah lebih jauh, Lamongan ini memang mempunyai luas daerah yang tidak cukup besar, namun memiliki jumlah desa yang teramat banyak. Berdasarkan data yang dihimpun, jumlah desa di Kabupaten Lamongan yang berjumlah 462 merupakan terbanyak nomor satu di Jawa Timur, nomor dua di Pulau Jawa, dan nomor sembilan di Republik Indonesia. Jumlah tersebut terasa sangat banyak untuk daerah yang hanya memiliki luas 1.752,21 km². Bandingkan dengan Kabupaten Banyuwangi yang memiliki luas 5.782,40 km² dengan desa berjumlah 189 atau Tulungagung yang berluas wilayah 1.055,65 km² dengan jumlah desa 257. Kabupaten yang memiliki jumlah desa terbanyak di Indonesia yaitu Kabupaten Aceh Utara, memiliki luas 3.477,92 km² dengan jumlah gampong atau bisa disebut desa berjumlah 852. Melihat data itu, cukup wajar memang jika kita berada di Lamongan, kita bergeser beberapa langkah saja rasanya sudah berpindah desa.
Banyaknya desa tersebut tentu lahir bukan karena permasalahan teritorial semata. Perbedaan budaya, tradisi, pola hidup, kepercayaan, hingga mata pencaharian tentu menjadi komponen lahirnya banyak desa di Lamongan. Hal tersebut turun-temurun sudah cukup lama hingga membentuk karakter Lamongan yang bermacam-macam. Memang belum ada kajian lebih jauh mengapa desa di Lamongan terlampau sangat banyak. Namun, jika ditelaah secara kasar, kita akan jadi mengerti kenapa hal itu bisa terjadi.
Kabupaten yang terletak di sebelah utara Jawa Timur ini memiliki keunikan wilayah geografis yang mampu membentuk keberagaman budaya yang ada di Lamongan. Adanya garis pantai sepanjang 47 km, dilewati Bengawan Solo, dan adanya Jalan Raya Pantura adalah salah satunya. Lamongan pun terkenal memiliki kontur tanah yang susah ditebak hingga membuat jalan beraspalnya mempunyai alasan untuk selalu rusak. Hal tersebut yang mengakibatkan muncul pasemon yang cukup terkenal tentang berak, yaitu jika musim kemarau susah cebok, jika musim penghujan susah untuk ndodok. Di saat musim kemarau sedang panas-panasnya, kekeringan akan membuat orang menjadi susah untuk membersihkan prosesi buang air besarnya. Sedangkan untuk musim hujan dengan intensitas tinggi akan membuat orang Lamongan susah untuk berak karena kamar mandinya kebanjiran. Atas ketidakjelasan fenomena alam tersebut, menjadikan banyak orang Lamongan pergi merantau untuk mencari peruntungan. Dengan bekal ilmu mengolah bahan pangan yang sudah turun-temurun, orang Lamongan pun jadi hijrah untuk berdagang soto, pecel lele, ataupun tahu campur.
Atas cerita yang dijabarkan di atas telah membentuk 27 kecamatan yang mempunyai kebudayaan agak-agak sekuler. Yang memiliki budaya merantau untuk berjualan kuliner kebanyakan hanya mereka yang lahir di sekitar Kecamatan Sukodadi, Pucuk, Sugio, dan Deket. Untuk yang tidak boleh makan lele, ada di Kecamatan Glagah karena di sana mempunyai legenda tentang sosok Ki Danurekso. Untuk yang tidak boleh menikah dengan orang Kediri dan punya tradisi Perempuan melamar laki-laki ada di Kecamatan Lamongan, Tikung, Mantup, dan sekitarnya. Demikian juga Santri, Kecamatan Paciran dan Karanggeneng mempunyai budaya tersebut karena berakar dari Sunan Drajat yang merupakan salah satu dari Wali Sembilan. Lamongan juga memiliki akar budaya Madura berasal dari kisah Arya Wiraraja yang pernah tinggal, menikah, dan beranak pinak hingga memunculkan sebuah Kecamatan bernama Maduran. Cerita ihwal Lamongan berpengaruh untuk Kerajaan Majapahit, tercermin dari Kecamatan Modo yang merupakan tanah kelahiran Mahapatih Gajah Mada. Adanya Candi Pata’an di Kecamatan Sambeng juga merupakan warisan dari Kerajaan Airlangga.
Lahir di Lamongan sedari 30 tahunan lalu, saya besar dengan kekayaan cerita lokal yang bermacam-macam. Saya ingat pelajaran Bahasa Daerah saya waktu itu memberi tugas untuk bisa menjelaskan tentang bagaimana sejarah kampung. Saya waktu itu pun langsung menemui Nenek Buyut saya, yang saat itu masih hidup, untuk mencari tahu asal muasal penamaan kampung saya yang bernama Ki Nameng. Lalu berkisahlah Beliau ihwal seorang Pejuang yang kemana-mana bertarung menggunakan semacam tameng. Cerita dari Nenek Buyut saya itu ternyata tak berdiri secara tungggal. Cerita itu berkolerasi dengan kisah-kisah lokal yang lain dan terus berkelindan menyelimuti spirit Orang Lamongan.
Cerita-cerita tersebut melekat terikat yang menyatukan orang Lamongan. Cerita tersebut tentu tak hanya dari keluarga saya saja, cerita tersebut tentu telah turun menurun ke keluarga-keluarga lainnya. Kisah tentang Panji Laras Liris, Sunan Drajat, Sendang Nduwur, Nyai Dewi Sekardadu yang merupakan Ibunda Sunan Giri, Joko Tingkir yang meninggal dan dimakamkan di Lamongan, hingga tenggelamnya Kapal Van der Wijck terus terceritakan dari rumah ke rumah. Mitos bahwa Mbah Lamong sendiri merupakan juru masak Sunan Giri toh juga membuat banyak orang Lamongan mengambil spirit itu untuk membuat tempat makan dengan caranya masing-masing. Kultur pertanian padi, tambak air payau, hingga nelayan juga telah membentuk orang Lamongan menjadi punya beragam rupa.
Gastronomi di Lamongan, juga mempunyai khasanah cerita yang membentuk Masyarakat. Nasi Boranan mempunyai segudang cerita mistis bagaimana makanan tersebut hanya boleh dibuat oleh Perempuan di 4 Dusun, yaitu Kaotan; Sawo; Karangmulyo; dan Sidorukun. Nasi dengan sambal berwarna jingga itu mempunyai cerita yang panjang, dari logis hingga mistis tentang mengapa makanan tersebut hanya bisa dijual di Lamongan. Belum lagi kuliner lokal yang jarang terekspos seperti es Bathil, rujak Paciran, pecel Babat, wingko Ndapur, tahu tek, dan sebagainya. Soal makanan, setiap daerah di Lamongan mempunyai ciri khas yang berbeda satu sama lain. Soto di Desa Siman tentu sangat berbeda sekali dengan Soto yang dibikin di Lamongan Kota yang dibuat dengan kaldu dari Ikan Bandeng. Demikian juga makanan lain di tempat yang lain.
Cerita satu persatu mengenai Lamongan barangkali memang cukup panjang jika harus dirangkum menjadi satu tulisan seperti ini. Namun penjelasan singkat ini sepertinya cukup memberi gambaran mengenai bagaimana karakter orang Lamongan itu digambarkan. Bagaimana sikap pribadi itu dibentuk, dan juga bagaimana watak pekerja keras itu didapat. Mungkin, cerita semacam ini tentu banyak tumbuh di daerah lain. Tapi bagaimana orang lain menyorot Lamongan karena banyak berkibarnya bendera pecel lele Lamongan di seantero Indonesia, membuat kota kelahiran saya ini perlu banyak memberikan klarifikasi. Eksistensi Persela Lamongan yang 19 tahun di kasta tertinggi Liga Indonesia tentu membuat Kota saya jadi sering juga masuk di televisi.
Mitos-mitos mengenai Lamongan menjadi banyak diceritakan, seiring menyebarnya warung Lamongan di seantero Indonesia. Dari yang bagus hingga nyeleneh semua menjadi diceritakan dari mulut ke mulut. Usaha orang Lamongan menggunakan dukun hingga dengan usaha gigih kerja keras pun semua diumbar. Tentu saja ada oknum memanfaatkan momentum ini untuk suatu hal. Masalahnya adalah bagaimana kita sebagai orang Lamongan menceritakan hal yang sebenarnya dengan baik sebagai bentuk klarifikasi.
Karena banyaknya orang Lamongan di mana-mana tentu membuat banyak pula wajah Lamongan yang dibentuk dari bermacam persepsi. Adanya kepentingan tertentu dengan orang Lamongan mendorong upaya untuk mengenal Lamongan dengan bermacam cara. Cara paling mudah dan efisien tentu saja lewat obrolan yang entah dari mana bisa ditakar kebenarannya. Dari prosesi semacam inilah gosip lahir. Cerita dengan segala pengembangannya muncul hingga membuat cerita yang ada di telinga kita menjadi susah difilter kebenarannya.
Acapkali dalam sebuah perkenalan, orang selalu berujar tentang “Oh orang Lamongan yah, pasti bisa bikin sambel pecel lele dong?”, “Orang Lamongan pasti punya pantangan makan lele yah?”, “Orang Lamongan bener gak sih kalau nikah itu yang melamar harus cewek duluan?”, atau yang paling ekstrim “Ih, kamu pasti temannya Amrozi pelaku Bom Bali itu yah”. Dengan tersenyum, saya pun jadi harus menanggapi satu per satu pertanyaan dari mereka. Lelah sebetulnya harus menjelaskan panjang lebar ihwal betapa kompleksnya ke-Lamongan-an itu. Tapi mau apa di kata, sebagai putra Lamongan Asli selalu ada ingin untuk menceritakan tanah air saya itu dengan baik dan benar.
Masalahnya mungkin barangkali adalah karena orang Indonesia sangat mudah sekali memberi cap, embel-embel, stempel, atau stereotip terhadap suatu hal. Hal tersebut menjadikan suatu bentuk ideal adalah apa yang mereka bayangkan. Ideal bagi mereka mungkin adalah menganggap budaya mereka lebih agung, lalu berupaya menjatuhkan budaya lainnya. Hal tersebut berdampak kepada Lamongan melihat eksistensi pecel lele yang begitu meluas.
Yah nasib, mungkin ini adalah cobaan sebagai orang Lamongan. Memilih lahir di mana adalah sesuatu yang tidak bisa kita pilih sebagai manusia. Tapi sebagai manusia kita mustinya harus memanusiakan manusia lainnya yah kan? Duh, Menteri Kebudayaan yang baru Bapak yang terhormat Fadli Zon, sepertinya pengetahuan semacam antropologi dasar perlu diajarkan di bangku sekolah agar tidak memunculkan pikiran-pikiran jelek macam ini. Memberi Pelajaran semacam ini tentu juga sebagai upaya untuk meredam konflik kedaerahan.
Jadi mari jangan sok tahu tentang Lamongan, Surabaya, Tulungagung, Pare-pare, atau Pangkep sekalipun. Kita semestinya belajar mengerti ihwal keberagaman Indonesia itu tidak bisa dipersamakan dengan seenaknya sendiri. Semoga tulisan menggugah kota-kota lain untuk menceritakan kotanya dengan baik dan cermat.
Ismail Noer Surendra Lamongan Asli yang merantau dengan tidak berjualan pecel lele atau soto. Gondrongers ini terus ngotot menjadi wartawan meski membuat hidupnya berantakan. Menyukai banyak hal hingga susah untuk ditebak. Saat ini masih terus menulis di berbagai media sebagai bentuk tanggung jawab menulis “Wartawan” di kolom pekerjaan KTP.