Lingkar Bermain:
Ide Pedagogi dari Pameran Seni

Tulisan oleh
Rosyid H. W.

Pada Sabtu malam yang syahdu, saya berkunjung ke pembukaan pameran Lingkar Bermain: Gagas-Ramu-Saji yang digelar oleh Komunitas Serbuk Kayu di Rumah Seni Pecantingan, Sidoarjo. Hari Sabtu itu, 14 September 2024, adalah hari pertama dari rangkaian pameran yang akan berlangsung seminggu hingga tanggal 20 September 2024. Saya tiba saat tur karya sedang berlangsung dan dipandu oleh dua lelaki energik selaku direktur artistik pameran: Lucky Childa Pratama dan Thoriq Fahmi. Mengekor keramaian, saya ikut bergerak dari satu karya ke karya lain.

Pada perjumpaan pertama ini, saya mencoba mengosongkan pikiran. Tak hendak menafsirkan apa-apa. Tak ingin mengartikan apa-apa. Hanya menikmati visual yang tertangkap mata. Peta Indonesia bertemankan selembar batik terhidang di samping kiri pintu utama pameran. Bantal-bantal yang terikat pada tiang-tiang di tengah joglo. Di samping kanan pintu, kolase berderet-deret yang tampak seperti komik. Di ujung kiri, kertas-kertas koran sudah menyambut. Di sampingnya, lembar-lembar daun terbungkus plastik ditata berjejer-jejer. Lalu, foto-foto kegiatan pertanian terpampang di pojok joglo. Tak lupa, alat penyemprot pestisida ikut teronggok di bawah foto.

Beranjak dari joglo utama, seraya terus menapakkan langkah demi langkah, hati saya tiba-tiba diserang gelisah. Ada semacam memori yang menggedor-gedor laci ingatan. Tur belum berjalan setengah, namun memori masa lalu telah benar-benar menguasai diri. Di depan motor bergerobak penuh mainan karya, saya memutuskan tidak melanjutkan tur. Bersandar tiang joglo, saya mematung, sekaligus merenung. Ingatan masa lalu mendesak keluar.

“Menang!” saya berteriak saat mobil saya mencapai garis finish. Saya tak mengira, mobil saya mampu melesat cepat, meninggalkan empat mobil lainnya. Seperti seorang pembalap jempolan, di tepi garis finish, saya mengangkat tangan saya tinggi-tinggi, lalu berjingkrak-jingkrak. Saya kelewat lupa ini bukanlah balap mobil dalam arti yang sesungguhnya. Ini hanyalah ‘balap mobil magnet’. 

Lima mobil hotwheels ditata sedemikian rupa di atas trek balap yang terbuat dari kardus. Trek itu sepertinya memiliki panjang 2 meter. Kemudian, sebatang magnet diikat di atas mobil hotwheels, lalu sebatang magnet lagi dipegang oleh peserta workshop. Instruksinya adalah setiap peserta workshop harus mendorong mobil hotwheels menggunakan ujung batang magnet yang saling tolak-menolak. Tentu, seperti adu balap pada umumnya, entah adu balap motor atau adu balap merpati, pemenangnya adalah peserta yang mampu paling cepat mendorong hotwheels hingga garis finish.

Saya tak percaya saya mampu memenangkan game ini. Namun, ada hal yang membuat saya lebih tak percaya, lebih tepatnya, rasa takjub. Yaitu, topik magnet mampu diajarkan dengan cara yang teramat mengasyikkan. Pelajaran sains yang menyenangkan. Keren, dan keren, dan keren; batin saya. Naluri pendidik saya seperti meronta-ronta.

Kini, bersandar joglo di Rumah Seni Pecantingan, rasa takjub kembali mengisi pikiran saya. Di pameran Lingkar Bermain ini, tersaji aneka media yang dapat diaplikasikan dalam mengajar. Pengantar ‘Panggilan Terbuka Pameran’ yang diwartakan komunitas Serbuk Kayu benar belaka. Pameran Lingkar Bermain memang mewadahi cipta karya seni berbasis riset dan eksplorasi media pendidikan. Ya, ‘eksplorasi media pendidikan’. 

Maka, tulisan ini secara sengaja tak hendak menguraikan hal-hal estetik-filosofis perihal pameran Lingkar Bermain, tetapi lebih memilih untuk menarasikannya secara praktis-implementatif pada dunia pendidikan.

Dok. Lucky Pratama

Mata Guru dan Pedagogi Alternatif

Sebuah lampu kuning berpendar di atas meja menyinari kata-kata pada keping-keping kertas. Bukan kata-kata biasa. Kata-kata tersebut telah menjelma menjadi puisi utuh. Sebelumnya, kata-kata tersebut diambil dari tulisan koran lepek yang terpajang di dinding. 

Melalui karya Sebelum Naskah Musnah, Dewi R. Maulidah memamerkan metode seni cipta puisi dengan mendaur ulang kata dan wacana pada berbagai media cetak menjadi puisi. Tujuannya, memberikan hidup baru untuk kata-kata yang telah dianggap sampah. Melalui karya ini, Dewi mengajukan metode alternatif cipta puisi pada pelajaran Bahasa Indonesia.

Pada koran usang yang tertempel di dinding, Dewi mencontohkan:

 

Pada sudut pameran yang lain, Prapto Dwi Utomo melalui Candi; Arsitektur Megah Masa Lalu menawarkan alternatif pembelajaran sejarah melalui 17 panel komik. Dengan gambar atraktif, panel-panel tersebut menarasikan petualangan tiga siswa yang menelusuri kemegahan candi-candi di Jawa Timur. Pada panel komiknya, Prapto Dwi Utomo tak lupa memasukkan bagian-bagian dan tipe-tipe candi. Dengan Candi, Prapto Dwi Utomo seakan-akan menggugat pembelajaran sejarah yang biasanya hanya berupa hafalan tahun dan diajarkan dengan cerita yang membosankan.

Dok. Lucky Pratama

Salah satu karya yang menarik perhatian pengunjung adalah Jaga Diriku karya Fatwa Amalia. Melalui media lagu, video dan puzzle interaktif, Fatwa Amalia menghadirkan pendidikan seksual dengan cara yang menarik. Hal-hal tabu dibicarakan sejak dini mengenai tubuh anak-anak dengan tujuan mereka sadar akan batasan-batasan tubuhnya dan bahaya kekerasan seksual. Saya kutipkan lirik lagu “Jaga Diriku” ciptaan Fatwa Amalia yang diaransemen oleh Yopi Alamsyah.

Jaga Diriku

Jika ada orang yang sangat usil
Menyentuh-nyentuh diriku
Menyentuh area pribadi
Buatku tidak nyaman

 Jika orang menahanmu tuk cerita, dan beri sesuatu
Tolak saja semuanya
Karena tidak nyaman

Lari-lari-lari-lari, teriak dan lapor
Tubuhmu adalah milikmu

Apabila 15 karya pada pameran Lingkar Bermain ini dikategorikan berdasarkan tematik Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), maka hasilnya dapat terlihat pada tabel berikut. Tabel berikut memang terkesan menyederhanakan potensi karya yang ditampilkan atau terlalu menggeneralisir tafsir atas karya yang ditampilkan. Namun, demi memberikan panduan ide bagi guru-guru, tabel ini cukup layak untuk diajukan.

Mayoritas karya yang tersaji pada pameran ini menyandarkan ide kekaryaannya pada pembelajaran berbasis proyek (project-based learning). Misalnya Mohamad Rofayat dengan Kitab Batik mengajukan metode pembelajaran berbasis reflektif dan eksperimental (pengalaman). Pembelajaran ini menekanan pada ingatan tentang sejarah, penegasan identitas budaya dan keterhubungan dengan kearifan lokal. Kearifan lokal juga menjadi nafas karya Mufidatussholikhah yang berjudul Fragmen Bertahan Hidup yang menitikberatkan pada pembuatan kerajinan tikar. Sementara Kharisma Adi mengajukan konsep sedulur papat melalui representasi empat warna alam dan empat penjuru mata angin. Adapula Uzzaer Ruwaidah dengan karya Bermain Jejak Daun. Ia menggunakan teknik ecoprint dalam menyalin zat warna alami daun untuk mengajukan konsep hidup selaras alam. Sementara Dwi Januartanto, dalam karyanya Akarr, mengintegrasikan seni, pertanian dan kehidupan sosial.

Tematik Proyek

Karya Proyek

Gaya hidup berkelanjutan

gerobak mainan karya Indra Prayhogi, Sebelum Naskah Musnah karya Dewi R. Maulidah, Jejak Daun karya Uzzaer Ruwaidah

Kearifan lokal

Kerajinan tikar karya Mufidatussholikhah, batik tulis karya Mohammad Rofayat, Candi karya Prapto Dwi Utomo, Galeri Tubuh Puisi karya Kamateatra, Sedulur Papat karya Kharisma Adi

Bhinneka Tunggal Ika

Nongki-nongki Alief Tegar

Bangunlah Jiwa dan Raganya

Jaga Diriku Fatwa Amalia, pendidikan orang tua Naura Fadia Farah Adillah, pelajaran kejujuran Al Satrio, doa-doa karangan sendiri M. Rico Wicaksono

Suara Demokrasi

narasi satire pendidikan dan koruptor karya Alief Edi Irmawan

Rekayasa dan Teknologi

Jaga Diriku Fatwa Amalia

Kewirausahaan

gerobak mainan karya Indra Prayhogi (2), Jejak Daun karya Uzzaer Ruwaidah (2), Kerajinan tikar karya Mufidatussholikhah (2), batik tulis karya Mohammad Rofayat (2)

Kebekerjaan

Integrasi seni dan pertanian karya Dwi Januartanto

Mata Lain dan Pendidikan Luar Kelas

Pendidikan tak hanya sekadar pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas saja, namun seluruh proses olah rasio, olah rasa, oleh jiwa dan olah raga yang berpusat pada siswa. Walhasil, pendidikan luar kelas juga signifikan bagi tumbuh kembang seorang siswa. 

Pendidikan luar kelas ini misalnya tercermin pada karya Alief Tegar yang berjudul Nongki-Nongki. Ia menampilkan dua kursi dengan rentetan kolase bertuliskan wacana acak serta headphone untuk mendengarkan lagu-lagu. Melalui nongkrong sebagai kegiatan komunal, Alief Tegar menghidangkan wacana bahwa nongkrong bukanlah kegiatan tak berguna, tetapi mengandung interaksi sosial yang menumbuhkan keterampilan sosial serta menjaring gagasan dan ide yang dipertukarkan secara bebas. 

Sementara itu, karya Indra Prayhogi bertajuk Tutwuri Bondo Wani memamerkan sepeda motor bergerobak kebak mainan. Terdapat aneka mainan seperti dinosaurus, pesawat terbang dan gajah yang terbuat dari keping-keping material bekas. Melalui karyanya, Indra Prayhogi berargumen jika pedagang asongan di halaman sekolah memancarkan aspek-aspek kreativitas yang turut mempengaruhi siswa. Pedagang tak hanya sekadar penjual yang mencari untung, tapi ia menghadirkan ruang imajinasi dan kreativitas bagi siswa melalui interaksi bentuk, bunyi ataupun warna-warni.

Ditinjau dari kacamata pendidikan, pameran Lingkar Bermain setidaknya dapat diletakkan pada tiga aras. Pertama, menjaring ide praktik-praktik pedagogi di dalam kelas melalui pengajaran kreatif. Kedua, menambang imajinasi perihal hasil kerja siswa yang variatif dan partisipatif pada eksebisi Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) sebagai bagian implementasi Kurikulum Merdeka. Ketiga, menerbitkan kesadaran bahwa pembelajaran dalam kelas saja tak cukup memadai untuk mencipta pendidikan holistik.  Dibutuhkan pula peran keluarga dan masyarakat demi mendidik manusia seutuhnya.  

Dok. Lucky Pratama

Ketika dunia pendidikan sedang berpacu dengan kemajuan teknologi, saat kreatifitas pengajar beradu cepat dengan kecanggihan teknologi, alangkah beruntungnya siswa-siswi kita apabila mendapati pendidik yang mampu menggabungkan permainan dan seni pada proses pengajaran mereka. Pada anasir inilah, pameran seni bertajuk pendidikan seperti Lingkar Bermain menemukan relevansinya.

Melalui pameran seni Lingkar Bermain, para guru dapat meningkatkan kreativitas dan mengasah imajinasi dalam menghadirkan pengajaran yang menarik di dalam maupun di luar kelas. Namun, pertanyaan pemantiknya, berapa persen guru yang mampu meluangkan waktunya demi menghadiri pameran-pameran seni rupa seperti ini?

Rosyid H.W. lahir dan tinggal di Sidoarjo. Ia menyelesaikan studi sastra di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan Universitas Airlangga Surabaya. Kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul Rembulan di Bibir Teluk (Pelangi Sastra, 2021). Ia kini bergiat di Litbang Dewan Kesenian Sidoarjo dan ruang arsip budaya Simocoyo Space.