Sputnik Mengorbit Melikan:
Jelajah Ritus dan Tradisi Tanah
Tulisan oleh
Abi Mu’ammar Dzikri
Bulevar lurus terus menuju waktu timur. Jumpa plang hijau bertulis Wedi, sedikit serong ke kanan. Sepasang ban motor menggelinding laksana sputnik mengorbit bumi. Melesat dan melaju tinggi.
Dari Yogyakarta, hampir sejam aku melahap aspal. Beberapa ruasnya bopeng, sputnik nyaris menubruk bulan. Kalau tak sigap kendalikan kemudi, bisa-bisa mukaku ikutan bopeng sebab mencium kerikil campur tanah. Tetapi beberapa asteroid kecil yang terlindas ban motorku berhasil menggores kaca helm. Masih beruntung. Bulan lalu aku sempat saksikan ledakan besar di lubang ini, antara truk dengan sejoli muda bermotor. Kata polisi di TKP, kepala sejoli itu pecah lantaran tak memakai perlengkapan antariksa memadai. Padahal harga helm Cargloss tak semahal helm kosmonaut.

Aku harus sampai di Melikan sebelum pukul 6. Sebelum mentari melintas di antara dua bukit yang membayangi desa itu. Alhamdulillah …. Kulirik jarum arloji masih menunjuk pukul 5.40. Mesin sputnik bising nyaring. Kutambatkan di tepian depan jembatan Kali Ujung. Tampak di pelupuk mata dua bukit itu yang mendadak asing.
Waktu pertama kali singgah ke sini, dua bukit itu masih hijau keemasan terpandang dari mulut jembatan. Sekarang mereka sama-sama jadi cacat. Bukit Merak tubuhnya tinggal seperdua. Kepalanya tampak botak kering. Kata Pak Lurah tempo lalu, tanahnya dikeruk guna uruk tol Klaten-Yogyakarta. Aku enggan menanggapinya. Di sampingnya, Bukit Jabalkat menggosong. Kelihatannya bekas terbakar. Kemarau panjang buat kulitnya memar dan penuh lebam.
“Rekor … Apinya terus merembet sampai ke kandang satwa dan sumber air. Lebih luas dari 2019!” Celoteh Pak Harno, pemilik Sanggar Lebah di status WhatsApp. Orang-orang mengenalnya sebagai aktivis lingkungan. Hampir sebagian hidupnya mengabdi alam lereng Bukit Jabalkat, bercengkerama dengan pohon-pohon dan kera kesayangannya, Kliwon.
“Sudah ada bantuan dari pihak dinas terkait, pak?” Tanggapku membalas statusnya.
“Biasa … bantuan personel. Bukan perlengkapan & peralatan,” jawabnya ketus.
Ingin aku menghampirinya segera, menyodorkan bantuan sekalipun cuma tenaga dan doa.
Tetapi hari itu Minggu Legi pagi. Aku sudah janji dengan Mas Dhani bertemu di Peken Pinggul pukul 6 tepat. Keburu para turis dan pelancong membeludak. Bisa-bisa kami tak jadi panjang lebar meramu kata.
Mas Dhani itu orang penting. Dia Lurah Peken Pinggul. Di Melikan, lurah adalah sebutan yang lumrah untuk jabatan kepala. Ada banyak lurah di sini. Lurah desa, Lurah Pinggul, lurah bengkok, sampai lurah hidung. Yang terakhir jabatan buat para pembawa kayu bakar, warga lokal yang bibirnya licin dan dower.
Festival Peken Pinggul dihelat saban Minggu Legi atau 35 hari sekali. Sejak awal bertandang ke desa ini, aku hampir tak pernah luput dari presensi acara selapanan ini. Kalaupun absen, itu karena sakit atau enggak punya ongkos melaju. Maklum, aku masih mahasiswa dan mesti bijak memanajamen pengeluaran.


Namun hari ini merupakan edisi khusus, aku tak boleh telat apalagi menghiraukannya. Kusisihkan beberapa receh rupiah untuk beli bahan bakar dan pegangan.
Sepekan lalu, Mas Dhani mengirimiku pamflet berwarta “Mangayubagyo Ambal Warsa Peken Pinggul ke-5”.
“Sugeng enjing, Mas Abi. Sageda kersa benjang minggu rawuh wonten ing Peken Pinggul. Nanggap warsa kelima. Matur agungipun panyuwun,” tulis Mas Dhani lewat pesan WhatsApp, membubuhkan takarir pamfletnya.
“Inggih, Mas … Insyaallah kula estokaken. Mugi saget makempal wonten ing adicara,” tukasku spontan.
Ia balas dengan emotikon jempol. Tersirat harapannya kedatanganku memeriahkan acara. Kontan jariku memencet gambar pamflet tadi. Tertulis nama pementas musik larasan turut mengisi suara jemala: Omah Seni Melikan.
Nama itu tak seasing dua bukit itu. Dua tahun lebih aku rela bolak-balik Yogyakarta-Klaten hanya untuk menikmati Omah Seni Melikan pentas. Aku memang cinta pada bunyi-bunyian gamelan yang dipukul. Terdengar melankolis dan mendayu-dayu, kental juga asri.
Selain itu Ibu Suryatmi, yang sudah kuanggap ibuku sendiri memintaku untuk singgah langsung. Semua berawal semenjak aku dan kelompok KKN UNY melakukan residensi di sini pada 2022 lalu. Aku bersyukur akrab dengan warga sini. Hampir setiap ada hajatan mereka undang. Kata mereka, “tanpomu kurang satu.”
Dua hari lalu Ibu mengirimiku pesan, “Bi, besok hari minggu datang ke Peken Pinggul. Ibu jadi wiyaga, menabuh kenong. Nanti mampir rumah.”
Jawabku seloroh, “inggih, Bu … Midangetaken ….”
Aku nyalakan kembali tuas sputnik. Meluncur menuju stasiun antariksa terdekat. Di halaman rumah salah seorang kenalan warga, ia kuparkir. Bila parkir di stasiun umum, sputnik pasti dikenai biaya jasa marshaller. Sekalipun marshaller itu kenal baik, ia tak mau membeda-bedakan konsumen. Aku tetap dapat charge. Hitung-hitung menekan pengeluaran.
Dari sana, aku berjalan kaki. Terdengar riuh acara lekas mulai.
Sepasang gapura bertuliskan “Sugeng Rawuh” menyambutku. Ia dibuat dari janur yang masih hijau, dirangkai membentuk tulisan. Di samping kiri kanannya gunungan wayang dari karton. Masing-masing dicat “peken” di kiri dan “pinggul” di kanan.
Saat pertama bertemu Mas Dhani di sini, ia pernah jelaskan artinya, “peken artinya pasar. Sedangkan pinggul itu akronim ‘pinggir tanggul’. Kami berlokasi di pinggir tanggul Kali Ujung.”
Aku perhatikan sekeliling. Beberapa karya dari tanah dipajang. Semuanya hasil bumi warga. Kebanyakan berupa gerabah dan keramik peranti dapur: gelas, cangkir, piring, mangkuk, sendok, juga periuk, kuali, kendi, dan kendil. Ada juga gentong besar yang sudah dihias warna-warni gagah menjulang di atas meja.
Tetapi yang menarik perhatianku adalah batu bata yang tersusun rapi di samping podium. Para pengunjung yang berdatangan pun tak akan menyangka batu bata memiliki nilai estetika seni. Setahunya, batu bata cuma jadi bahan dasar bikin pondasi rumah dan gedung. Lagipula setelah jadi dinding, ia bakal tertutup semen dan cat.
Kupastikan mereka takjub sebab di sini dipamerkan aneka macam bentuknya. Mulai dari seonggok tanah liat dan tanah merah, sudah dicetak dan masih basah, yang kering—belum atau sudah sisik, serta bata merah matang siap pakai. Bahkan kayu-kayu dan tumpukan sekam buat bakar bata tak mau ketinggalan eksposur. Gumamku, sekalian saja mereka buat luweng dan pajang kaus-kaus partai kesukaan mereka kenakan kerja.




Mas Dhani menyambut tanganku dan menjabatnya hangat. Kami berbasa-basi.
“Sampeyan kan sampun mangertos. Wargi mriki mboten saged ‘lukar’ saking lemah,” jelas Mas Dhani menunjuk-nunjuk karya yang dipamerkan. Aku tertawa kekeh.
“Wooaaahh …. Yen supados mekaten, miwiti saking kapan, Mas?”
“Nembe kala wingi sonten, Mas. Guyub sesarengan miwiti asrén-asrén lan gombyokan caping. Karya pameran menika asil kolektif. Ujud ritus lan tradisi nyawiji bumi Melikan. Dipendhet saking kundhi lan para pandhé lokal.”
“Yen pengrawitipun sampun miwiti sesasi wingi. Sukur sedaya saking wargi piyambak,” sambungnya.
***
Aku kembali mengingat-ingat. Tanah memang ritus yang cukup sakral dan kental bagi warga Melikan. Mulai dari bangun pagi hingga tidur di malam hari, mereka tak lepas bercokol dengan tanah.
Dari jembatan Kali Ujung menuju ke Peken Pinggul, sputnik menerobos rumah-rumah warga. Di beranda, olahan tanah dipajang: gerabah, keramik, dan batu bata. Kebanyakan hendak diangkut ke pasar guna mendulang ekonomi. Namun ingat, dulangan tak berhenti pada ekskavasi untung, tetapi mereka turut melakukan upaya “menubuh” dengan tanah.
“Loh, ini upaya kerja perawatan, Mas! Kalau cuma dijual dan perajin enggak mau melestarikannya itu sama saja kami merudapaksa tanah.” Aku teringat ucapan Pak Harno saat pertemuan perdana kami. Ia menggebu-gebu soal gerabah dan keramik. Memang demikianlah sebagian lagi hidupnya diabdikan, buat tanah.
Ia juga bercerita.
“Jadi, kalau Mas Abi perhatikan, para perajin sini itu unik-unik.”
“Bukannya sama saja seperti di Kasongan, Kapal Bali, atau Sitiwinangun di Cirebon?”
“Mungkin hasil dan bentuknya mirip. Tetapi tekniknya berbeda.”
Pak Harno rogoh saku depannya. Diambillah bungkus rokok dan tarik sebatang. Ia bakar dan isap dalam, embusannya terlihat serius. Ia teruskan, “teknik andalan Melikan yang khas namanya ‘putaran miring’. Pertama di dunia!”
Aku tak mau menyela. Bibirku khidmat mengatup. Mataku lebar tunjukkan rasa ingin tahu. Kerutan di dahi siratkan kemafhuman. Dengan rokok di sela telunjuk dan tengah, Pak Harno sambung ceritanya.

“Konon sekira abad ke-14, seorang alim dari Semarang berziarah ke desa ini. Namanya Ki Ageng Pandan Arang. Orang-orang akrab memanggilnya Pandanaran. Dia murid Sunan Kalijaga.”
Pak Harno todongkan rokok padaku. Sambil senyum tipis, daguku manggut-manggut. Aku ambil sebatang dan ikutan membakar.
“Getok tular setempat beredar, ketika sampai di wilayah yang sekarang disebut Bayat Mogol, ia temukan surau kecil dan dua buah padasan. Di badan padasan itu terlukis ukiran naga. Ia menamainya Gentong Sinaga. Sekarang kedua gentong itu terletak di mulut makamnya, Bukit Cokro Kembang. Masih satu gugusan dengan Bukit Jabalkat,” (sejenak terjeda, matanya memandang ke kanan-kiri).
“Setelah berwudu dari air padasan dan sembahyang di surau itu, ia berkeliling. Dijumpainya para perajin gerabah. Semuanya pakai perbot tegak. Para perajin mesti duduk dengan posisi kedua kaki tersingkap lebar. Padahal mayoritas perajin di sana perempuan!”
“Oh …. Pasti auratnya kelihatan, pak! [dada kudekap] Astaghfirullahalazim …,” sahutku.
Pak Harno sambar cekatan, “nah! Pandanaran lihat dan jadikan medium dakwah. Niatnya ke sini, kan memang dalam rangka meluaskan ajaran Islam.”
“Oh … pantas.”
“Siasat dakwahnya pelan-pelan. Persis kompromi culture Walisongo.”
Aku yang semakin merasuk dan ingin tahu, “bagaimana kelanjutannya? Mungkinkah lewat pendekatan akulturasi budaya, seperti halnya gurunya?”
“Ia ajarkan teknik putaran miring. Tanpa ubah fondationalism gerabah. Perbot tegak tadi digubah sedikit. Ia bikin blabak dari kayu dan gabungkan dengan perbot tadi, tetapi diposisikan sedikit miring. Sebuah pedal tekan diletakkan di bawah pemutar yang tersambung dengan tampar. Tali itu dikaitkan ke atas cagak blabak, lalu dililitkan ke pemutar. Kalau dilihat-lihat, cara mengoperasikannya seperti memutar kekehan [coba peragakan]. Mas Abi tahu kekehan, kan?”
Aku mengangguk. Semasa kecil di kampung, aku sering memainkannya. Orang modern menyebutnya “gasing kayu”. Dulu aku membelinya di penjual mainan depan sekolah. Harganya cukup mahal waktu itu, sekira lima ribu rupiah. Kira-kira penjual itu masih mangkal, enggak, ya?
“Pandanaran menganjurkan para perajin perempuan memakai jarik yang menutup mata kaki. Itu aurat [bibir mengembang lembut]. Perajin duduk di atas dingklik dengan posisi badan menyerong, sembari kedua kaki menjulur lurus dan salah satunya mengayuh pedal putar papan. Di atas papan, tanah liat diletakkan. Jadilah gerabah dan keramik yang dipajang di ruko-ruko sepanjang bulevar itu.”
“Pandanaran kreatif ya, Pak. Perkenanlah bapak jelaskan filosofinya?”
Beberapa detik Pak Harno terdiam menerka. Ia terlihat seperti menghitung jumlah ubin lantainya. “Ini, sih, pengamatan saya sendiri, Mas … cara mengoperasikan alat seperti itu dirasa bisa ‘menjaga’ norma perempuan agar lebih bijak menyamarkan aurat. Jadi, secara fungsional saja. Lainnya saya kurang tahu. Saya, toh, cuma perajin biasa bukan ahli sejarah!” Ia tertawa-terbahak. Aku mengikutinya.
***
Sontak aku kaget. Seseorang menyenggol bahuku dari belakang. Rupanya dari tadi aku melamun cukup lama. Sementara itu, Mas Dhani sudah menghilang entah ke mana. Aku rasa salah acuhkan dia. Sekarang aku berdiri di tengah-tengah kerumunan pengunjung menjubeli Peken Pinggul.f


Bunyi suara sound system mengalihkanku. Mas Dhani berbicara mengecap mikrofon membuka acara.
As-salāmu ’alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh …. (Gunungan tumpeng dipotong. Pak Lurah memimpin doa. Pengunjung mengekor amin)
Di antara jubel pengunjung, berjejer bakul menjajakan makanannya di atas bayang sebuah gubuk beratap anyaman janur.
Barang mungkin ini yang bikin jubel dan penuh sesak tempat. Apa lagi kalau bukan daya tarik “kuno-nya”? Makanan-makanan yang dijajakan lekat dengan jajanan jadul. Tentunya dalam tatapan modernitas.
Es cendol dan soto disantap dengan peranti gerabah: mangkuk, sendok, hingga nampan untuk suguhkan. Manisan rambut nenek, cenil dan kelanting dengan saus gula jawa dan taburan kelapa parut. Paling menyolok adalah aneka jenang. Mulai dari bahan ketan, kelapa, sampai beras.
Favoritku pondoh. Olahan jenang yang dikepal berbentuk kotak. Mirip jadah ketan tetapi bahan dasarnya dari tepung beras. Dimakan dengan serundeng gurih nan sedikit pedas. Setiap ke Peken Pinggul, aku selalu mampir ke gubuk Mbokde Pebe. Pondohnya juara. Aku sering borong beberapa ikat tempelang. Malahan Mbokde Pebe kerap memberiku cuma-cuma. Katanya, “penglaris, Mas Abi … mugi dados berkah. Amin ….”
Dua iris pondoh dihargai sebutir koin kreweng. Di Peken Pinggul, satu-satunya mata uang yang berlaku adalah kreweng. Sebutir kreweng sama dengan dua ribu rupiah. Para pengunjung bisa menukarkan rupiah dengan kreweng di Panggenan Lintu Arto (koin).
Mas Dhani acap kali mewanti-wanti agar para bakul senantiasa menjaga tradisi ini. Jual-beli harus pakai koin kreweng! Para bakul dianjurkan memakai kebaya atau lurik. Perempuan memakai jarik dan laki-laki kenakan blangkon. Selain itu, sebisa mungkin proses transaksi menggunakan ragam bahasa Jawa, entah krama atau ngoko ….
Gong …. Neng nang neng nung … suara gamelan menggetarkan pinggul. Semua pengunjung menatap podium. Sesi nglaras sesarengan dimulai.
Sebentar-sebentar kuperhatikan sekitar. Barangkali ada yang mengenalku dan kami dapat bercakap-cakap. Sebuah lirikan dari atas podium memandangku renyut. Pak Kris, pemencak gendang sekaligus pembina Omah Seni Melikan. Beliau menyapaku dengan gestur namaste, sembari senyum takzim.

Aku membalasnya dengan gestur yang sama. Ia duduk menyila di tengah-tengah wiyaga lainnya. Duduk pula para penabuh saron, demung, bonang, kenong, kempul, gambang, dll.
Di ujung barat, Ibu menghadap kenongnya. Aku hampiri dan beri hormat. Ia sunggingkan senyum. Seberkas gigi-gigi putihnya mengkilat bersih di antara bibirnya yang dicat merah marak. Pancarkan kebahagiaan.
Gawai kupegang dua tangan. Jempol menekan kamera, pasang kuda-kuda merekam video. Ibu terlihat senang.
***
Cahaya terasa makin panas. Arloji menunjuk pukul 8.20. Kerumunan jubel melandai. Aku pamit undur diri ke Mas Dhani. Ia persilahkan dan beri berkat.
Aku kembali menuju tambatan sputnik. Ia terparkir tanpa tedeng aling-aling. Aku raba jok, “ah …! panas sekali.” Kuusap dengan siku untuk meredam panas. Supaya tak menyengat bokong.
Aku arahkan landasan ke rumah Pak Harno. Terakhir jumpa medio tahun lalu. Aku rindu petuah-petuah klasiknya.
Sedikit muram, pintu dan jendela rumahnya tertutup rapat. Tetangganya menegur, “kayaknya tadi pergi ke Klaten, Mas. Katanya hendak mengusahakan swadaya Kehutanan.”
Mulutku membisu. Kepalaku penuh pertanyaan.
Sputnik meliuk-liuk di antara gang-gang sempit dan curam. Menuju ke angkasa Melikan. Saat residensi, kami sekelompok KKN UNY sering main ke sini. Melayang-layang pada hampa sore, menyebut-sebut Esa Allah saat lolongi awan dan semburat sunset.
Di angkasa udaranya sejuk dan lepas. Hanya desis angin dan sesekali desis Kliwon. Aku lihat Kliwon bergelantungan di dahan pohon jati. Beberapa remah kulit kacang terselip di antara giginya yang runcing. Bekas ubi rebus di tapak kakinya seperti bikin ia risih.
Dari angkasa, aku bisa lihat bulatan-bulatan rumah warga. Cekungan biru di timur itu Rowo Jombor. Saat letusan 1965, ribuan tapol merah berodi paksa di bawah pengawasan militer Soeharto, lebarkan bendungan. Kini beken sebagai destinasi pelepas penat muda-mudi kabupaten.
Di sebelah barat, sawah-sawah warga gundul. Bekas ani-ani panen beberapa pekan lalu. Terlihat beberapa pengepul tanah memaculi sawah. Tanah diangkut ke atas gerobak dan angkong. Menurut pengakuan beberapa warga, tanah ndut cukup bagus digunakan jadi bahan dasar pembuatan batu bata.
Ah, tanah … lagi-lagi. Sputnik terjun dari angkasa menuju landasan selanjutnya.

Abi Mu’ammar Dzikri, akrab disapa Irul. Buruh lepas baca, tulis, dan melantur di mana saja. Sering menulis sastra cerpen dan puisi. Saat ini tengah merampungkan studi sarjana di Ilmu Sejarah UNY.