Berenang di Tepian Arus Deras: Posisionalitas Pergelaran Seni Plat Merah dan Problem-problem Kota
Tulisan oleh
Hardiwan Prayogo
Bertekad menjaga, memelihara dan mengembangkan adat, tradisi serta kebudayaan yang bersumber dari Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, sesuai filosofi “Sangan Paraning Dumadi”, “Manunggaling Kawula Gusti” dan “Hamemayu Hayuning Bawana” dalam kehidupan sehari-hari serta bermasyarakat.
Kalimat di atas adalah salah satu dari empat ikrar yang dibacakan dalam peringatan 10 tahun Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK-DIY) pada 30 Agustus 2022. Saya lebih senang menyebut segala seremonial satu dekade UUK-DIY ini sebagai peringatan, ketimbang perayaan. Gelontoran dana keistimewaan (Danais) sebesar 1,3 triliun setiap tahun dari pemerintah pusat tentu tidak hanya diserap menjadi perayaan dan pergelaran tanpa makna. Terlebih lagi, hingga tahun 2022 alokasi terbesar Danais diserap oleh sektor kebudayaan. Bagi para pegiat seni dan budaya Jogja hal ini jadi peluang sekaligus tantangan. Mengingat Jogja selalu berada dalam bayang-bayang UMR rendah, pembangunan masif yang mengakibatkan gentrifikasi, kejahatan jalanan malam hari (klithih), rasio ketimpangan yang tinggi dan persentase kemiskinan yang di atas rata-rata nasional. Tantangan hari ini begitu nyata, kerja-kerja kebudayaan jika terjebak dalam jargon dan retorika usang tentu akan semakin tidak relevan dan berakhir sebagai rutinitas belaka. Terlebih lagi, bidang kebudayaan dari tahun ke tahun menyerap persentase terbesar dalam alokasi anggaran Danais. Tahun 2022, 731,6 miliar atau 55,43%, lebih dari setengah dari total Danais dalam setahun disisihkan untuk kerja-kerja kebudayaan. Jumlah ini sekitar 3 kali lipat dari anggaran Danais sektor kebudayaan tahun 2021.

Jika kita melihat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMK) DIY, maka alokasi besar pada sektor kebudayaan jadi terlihat masuk akal. Terlihat dalam gambar di bawah, bahwa visi DIY 2025 adalah menjadi pusat pendidikan, budaya dan daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara. Tiga poin yang ditekankan dari visi tersebut adalah pendidikan, budaya, dan wisata. Pada praktiknya, kerja kebudayaan memang kemudian ditafsir dan merembes dalam berbagai program terkait tiga sektor tersebut.

Tahun 2018, Kemdikbud pernah merilis capaian indeks pembangunan kebudayaan (IPK) dari setiap provinsi di Indonesia. Hasilnya, DIY menempati posisi tertinggi, sekilas mengenai IPK, bisa disimak dalam grafik pada gambar di bawah ini.

Lebih detailnya mengenai indikator dan metodologi apa yang digunakan untuk mengukur indeks tersebut, bisa akses melalui link ini. Jika kita hanya mengacu pada statistik IPK, maka Jogja kemudian terlihat seperti tanah impian bagi para pegiat budaya. Namun sebagai pembanding, kita juga bisa melihat data rasio ketimpangan yang tinggi dan persentase kemiskinan Jogja yang berada di atas rata-rata nasional. Situasi ini menjadi satu dari sekian banyak paradoks yang kerap muncul ketika kita menyandingkan kerja-kerja kebudayaan yang bermain pada dimensi-dimensi simbolik dan kualitatif, dengan indikator-indikator ekonomi dan kesejahteraan yang memiliki ukuran-ukuran numerik dan kuantitatif. Persoalan ini sebaiknya diulas pada kesempatan lain dan dikerjakan dalam riset yang lebih panjang dan mendalam. Saya akan mengembalikan fokus tulisan ini pada studi kasus beberapa event seni-budaya dan UUK-DIY.
Dalam perjalanannya, UUK-DIY tentu tidak lahir dari ruang hampa. Biasanya orang akan menarik sejarah panjang mulai dari keputusan Hamengkubuwono IX (HB IX) dan Pakualaman VIII (PA VIII) menyatakan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman resmi bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 5 September 1945. Setelah itu kemudian sejarah tercipta, buku dan berbagai kajian sejarah sudah banyak menulis tentang itu. Namun keramaian status keistimewaan Jogja kembali riuh sejak tahun 2009, ketika Gerakan Semesta Rakyat Yogyakarta menggelar ‘Yogyakarta Menggugat‘. Aksi yang diklaim mendatangkan 11.000 orang ini menuntut penetapan Gubernur dan Wakilnya tanpa melalui proses pemilu seperti daerah-daerah lainnya. Memang sejak menyatakan bergabung dengan republik, DIY selalu menetapkan HB dan PA sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur. Selain itu, demonstrasi ini juga untuk mendukung pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (UUK-DIY) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Singkat cerita, disahkanlah Undang-undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada intinya, undang-undang ini adalah landasan konstitusional yang melindungi dan mengatur Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sehingga memiliki dasar hukum yang sah untuk mengatur wilayahnya.

Semenjak tahun 2013, mudah kita temui acara-acara kesenian yang menempelkan logo Dana Keistimewaan. Artinya Danais menjadi penyandang dana utama atau salah satu pendukung dari acara tersebut. Dalam obrolan di suatu sore bersama Bayu Adi Wijaya, pekerja seksi Dokumentasi dan Informasi TBY sekaligus ketua panitia Nandur Srawung1, menyatakan bahwa Nandur Srawung adalah acara dari UPT Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Nandur Srawung didanai secara tunggal oleh Dana Keistimewaan. Secara struktural UPT (Unit Pelaksana Teknis) Taman Budaya Yogyakarta sebagaimana UPT Museum Sonobudoyo yang berada di bawah Dinas Kebudayaan Provinsi DIY (Kundha Kabudayan).
1 Nandur Srawung adalah salah satu program pameran seni rupa tahunan yang sepenuhnya dibiayai oleh Danais. Pada tahun 2024 ini, Nandur Srawung sudah digelar sebanyak 11 kali.
Sedangkan dalam struktur kerja/ pengelola Nandur Srawung merupakan kolaborasi antara pegawai TBY seperti Bayu dengan para profesional di bidang seni rupa/ seni kontemporer. Semenjak 2018, Nandur Srawung menggunakan 5 kurator yang bekerja dalam spesialisasinya masing-masing. Mereka adalah Bayu Widodo, Rain Rosidi, Irene Agrivina, Sujud Dartanto dan Arsita Pinandita. Saya bertanya pada Bayu, bagaimana posisi tawar menawar antara TBY dengan para kurator. Menurut Bayu, para kurator bekerja dengan porsi yang sesuai dengan keahlian berdasar latar belakangnya masing-masing. Misalkan seperti Bayu Widodo yang menjembatani Nandur Srawung dengan berbagai komunitas dan kolektif seni. Kemudian Arsita Pinandita dengan latar belakang desain grafis lebih difokuskan untuk memikirkan core id dan perwajahan Nandur Srawung pada publik. Namun kelima kurator ini juga bekerja dalam wilayah yang sama ketika menyeleksi karya dari panggilan terbuka, merumuskan mata acara, penentuan display dan fasad, hingga menentukan tema Nandur Srawung setiap tahun. Pada intinya, Bayu yang bisa juga disebut sebagai perwakilan TBY merasa cukup terbantu pada pelaksanaannya. Sebagai instansi yang bekerja dalam seluruh DIY dan menangani setiap bidang kesenian, wilayah dan beban kerja TBY memang terkadang tidak berimbang dengan kuantitas SDM para pekerjanya. Maka dari itu, kehadiran para kurator dan panitia acara dari luar TBY menjadi penting.
Seperti wajarnya acara tahunan yang diinisiasi oleh lembaga pemerintah, yaitu UPT Taman Budaya Yogyakarta, Nandur Srawung memang dilarang menggunakan sponsor selain Danais. Aturan ini sudah diberlakukan sejak tahun pertama penyelenggaraan Nandur Srawung, yaitu tahun 2014. Aturan demikian bukannya tidak berdampak apapun bagi para pelaksana program-program Nandur Srawung. Tata kelola dan pelaporan anggaran khas birokrasi pemerintah yang terkadang rumit dan kaku, tentu pernah berlainan kehendak dan tujuan dengan kerja-kerja kebudayaan dan kesenian yang kerap cair dan spontan. Menurut Bayu, pada dasarnya pihak TBY tidak pernah sangat mengarahkan konten dan tema Nandur Srawung setiap tahun. Koridor yang harus dijaga adalah bagaimana Nandur Srawung mengelola dan melaporkan secara akuntabel dan transparan. Ini juga menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihan karena para kurator bisa dengan cukup bebas memilih tema dan menyeleksi karya. Tapi kebebasan ini juga perlu diperiksa ulang. Bagaimana para kurator harus bernegosiasi antara aturan tertulis dan tidak tertulis mengingat bahwa Nandur Srawung adalah program kesenian yang diinisiasi instansi pemerintah dan difasilitasi dengan dana publik. Ulasan pada persoalan ini akan dibahas pada bagian berikutnya.
Perlu diingat bahwa Nandur Srawung yang disponsori secara tunggal oleh Danais dan diinisiasi oleh institusi pemerintah akan selalu menuntut pengelolaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban yang birokratis dan transparan. Ini adalah syarat yang tidak bisa ditawar mengingat Danais adalah dana publik yang harus dimanfaatkan seluas-luasnya bagi seluruh lapisan masyarakat.
Riuh rendah Danais sudah kita dengar selama 10 tahun terakhir, masih berkubang dalam pertanyaan serupa yang masih kerap kita dengar, yaitu bagaimana kucuran dana triliunan rupiah ini berdampak secara konkrit bagi publik. Setidaknya, dalam urusan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbahaya jika implementasi Danais pada bidang kebudayaan terjebak dalam seremonial dan perayaan simbolis tanpa makna. Misalnya, secara tegas kita dapat menagih apa manfaat pembangunan pagar Alun-Alun Utara yang menelan anggaran 2,3 miliar. Kita berhak selalu mempertanyakan apa kontribusi program-program semacam ini bagi penyelesaian problem-problem sosial Jogja. Sebagai sektor yang mendapat anggaran terbesar, kerja-kerja kebudayaan, termasuk dalam hal ini Nandur Srawung akan selalu mendapat sorotan tersendiri oleh masyarakat.
Tahun 2024 ini, Nandur Srawung telah memasuki tahun ke-11. Perbaikan tata kelola dan pola kerja tampaknya masih berjalan dengan usaha-usaha untuk bersiasat mengingat beberapa tahun terakhir kita juga harus berhadapan dengan pandemi, atau kini pergantian kekuasaan. Bayu bercerita bahwa Nandur Srawung sengaja dihadirkan sebagai wadah apresiasi seniman dari berbagai latar belakang disiplin, lokasi dan usia. Sebagai wadah, Nandur Srawung tentu bukan “wadah” yang hadir begitu saja tanpa konteks dan kepentingan. Sebagai acara yang disponsori lewat dana publik, Nandur Srawung pada dasarnya tidak pernah bebas nilai. Selalu ada pertanyaan dan tuntutan tentang bagaimana seharusnya acara ini bermanfaat bagi publik seluasnya. Padahal sekadar bermanfaat bagi publik seni rupa saja sudah menciptakan konsekuensi yang rumit. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, kita juga berhak kesal dan marah seandainya Nandur Srawung, atau event-event kesenian serupa dilaksanakan hanya agar anggaran terserap dan sekadar menjalankan rutinitas tahunan belaka. Pada tanggung jawab inilah, Nandur Srawung sebagai salah satu dari ratusan keramaian acara seni di Jogja hidup dan senantiasa diuji relevansinya.
Nandur Srawung di Hadapan Seperangkat Aturan dan Kebebasan
Dalam benak kami para kurator, pertanggungjawaban utama dari Nandur Srawung bukan pada Taman Budaya Yogyakarta atau Dinas Kebudayaan, tidak hanya publik seni, tetapi pada masyarakat luas.
Statement tersebut diucapkan oleh Rain Rosidi, salah satu dari 5 kurator Nandur Srawung yang saya temui pada pertengahan 2022. Bersama Sujud Dartanto, Bayu Widodo, Irene Agrivina dan Arsita Pinandita, mereka mengawali Nandur Srawung mulai dari merumuskan gagasan tema/ kuratorial, memikirkan sebaran program, menyeleksi seniman/ komunitas/ kolektif dari jalur panggilan terbuka (open call) dan undangan, merancang dramaturgi ruang pamer, hingga memilih Young Rising Artist dan Lifetime Achievement Award.
Statement di atas tidak muncul begitu saja. Para kurator, paham betul bahwa Nandur Srawung adalah acara kesenian yang sepenuhnya difasilitasi dengan dana publik, yaitu Danais yang turun melalui UPT Taman Budaya Yogyakarta. Dari statement Rain, saya ingin menggaris bawahi poin pertanggungjawaban pada masyarakat luas, tidak hanya publik seni. Pengelolaan acara kesenian dengan dana publik memang memiliki dimensi kesulitan tersendiri, karena secara tidak langsung melahirkan semacam tuntutan untuk memuaskan publik seluas-luasnya. Apakah hasrat demikian mungkin terwujud?

Friksi demikian agaknya pernah terjadi pada tahun 1999. Ketika itu Festival Kesenian Yogyakarta edisi kesembilan (FKY IX), yang digelar setahun pasca reformasi coba dirayakan sebagai momentum untuk mengapresiasi keragaman berbagai bentuk seni rupa. Alhasil, pameran seni rupa FKY 1999 melibatkan seniman dari berbagai latar belakang usia dan mengakomodasi berbagai sub-genre seni rupa yang kala itu baru tumbuh seperti seni multimedia, net-art, dan lain sebagainya. Di tengah jalannya pameran, terjadi demonstrasi dari sekelompok seniman muda yang tergabung dalam Es-Tape (Seniman Tanggap Perubahan). Es-Tape menuntut pengelolaan pameran seni rupa FKY IX yang lebih transparan, meniadakan unsur nepotisme dalam pemilihan seniman, dan memperlakukan seniman muda hingga tua dengan setara. Es-Tape memprotes katalog pameran yang mencetak halaman berwarna bagi seniman senior namun halaman hitam putih bagi seniman muda. Es-Tape menilai bahwa persoalan ini muncul karena jajaran organisator pameran yang kurang beragam, tidak banyak melibatkan seniman muda. Selain itu juga ada anggapan bahwa pameran seni rupa FKY IX terlalu mengutamakan aspek komersialisasi. Demonstrasi yang dilakukan tidak hanya dalam bentuk orasi di hadapan panitia, tetapi juga dengan menggelar karya seni ‘tandingan’ di ruang publik dari Apotik Komik dan Taring Padi. Dua karya dari kolektif ini nyatanya sama sekali tidak dilirik oleh para panitia FKY kala itu, padahal karya mereka dinilai sangat kontekstual dengan situasi sosial-politik Indonesia yang sedang merayakan reformasi dan menjelang pemilu 1999.2 FKY IX menjadi contoh bahwa tuntutan publik seni sebenarnya tidak semata pada soal wadah yang diberikan, tetapi juga keinginan untuk membuat kesenian senantiasa relevan dengan konteks dan problem sosialnya.
2 Newsletter Surat YSC, Volume 4/ Agustus 1999

Membicarakan posisionalitas Nandur Srawung, saya ingin menyoroti pemberian Lifetime Achievement Award pada Moelyono. Menurut Rain, Nandur Srawung tahun 2022 ingin memberikan fokus pada proyek seniman yang berkaitan dengan usaha menciptakan jaring pengaman selama pandemi. Gagasan ini yang kemudian diturunkan untuk memilih beberapa seniman undangan. Dengan premis serupa, Moelyono yang selama ini dikenal dengan praktik-praktik seni penyadaran dirasa tepat untuk diganjar penghargaan atas komitmen dan konsistensinya. Saya rasa ide ini sangat relevan dengan situasi sosial hari ini. Anggaplah kita sudah bisa menyebut hari ini sebagai era pasca pandemi, maka pengalaman menciptakan jaring pengaman antar warga adalah warisan pengetahuan masa pandemi yang sebaiknya tidak ikut berlalu sebagaimana wabah ini. Praktik Moelyono selama ini juga mewujudkan satu gerakan kesenian yang konkrit dalam mendorong berbagai usaha perubahan sosial. Persoalannya kemudian bukan pada praktiknya, tetapi pada usaha untuk kemudian menghadirkannya dalam ruang pamer/ galeri. Stanislaus Yangni dalam esainya yang berjudul Moelyono dan Persoalan Seni Relasional3 melihat bahwa praktik-praktik seni partisipatoris dan seni relasional justru kerap tereduksi maknanya ketika dibawa ke dalam ruang galeri. Esensi dari praktik seni Moelyono dan serupa lainnya selama pandemi adalah kehadiran praktiknya sebagai peristiwa. Sedangkan membawanya pada ruang pamer justru ‘mengancam’ praktik mereka sekadar untuk menjadi objek galeri. Bahwa pada dasarnya, praktik Moelyono juga berangkat dari kritik kepada Pameran Seni Rupa Baru 1987: Pasaraya Dunia Fantasi. Moelyono mengatakan: “Mereka memamerkan idiom-idiom seni rupa rakyat; bukan hakikat kesenian rakyat. Rakyat masih berdiri sebagai objek; yang diam, pasif dan yang berhak bicara serta tampil adalah para peseni rupa baru tersebut. Ini adalah kekeliruan cara pandang tentang: apa dan siapa rakyat”4
3 Stanislaus Yangni – Moelyono dan Persoalan Seni Relasional.
4 Moelyono secara panjang lebar pernah membicarakan ini pada talk show Dialog Seni Kita 29 Maret 2002 yang bertajuk Panjang Lebar Memperbincangkan Seni Rupa Komunitas
Pembicaraan mengenai posisionalitas Nandur Srawung akan saya kembalikan pada perkara pertanggungjawaban pada publik. Pemberian penghargaan pada Moelyono sebaiknya menjadi momentum bagi para kurator dan pengelola untuk memaknai ulang dan menajamkan visinya. Penajaman bukan pada visi untuk memperluas daya jangkau publiknya. Karena wilayah ini berkaitan erat dengan bagaimana skema anggaran dan durasi kerja yang harus lebih luwes. Harus digaris bawahi bahwa besaran anggaran dan tanggal penyelenggaraan adalah perkara yang tidak bisa dinegosiasikan dengan pemerintah. Tanpa keleluasaan mengelola anggaran dan timeline kerja, usaha perluasan publik hanya akan berakhir pada subtitusi publik. Upaya menyenangkan semua orang juga (hampir) mustahil dilakukan, kasus FKY IX menjadi sedikit contoh dari ketidakmungkinan itu. Maka yang bisa saya bayangkan pada Nandur Srawung kedepannya adalah menajamkan relevansi antara sasaran publik dengan tema kuratorial dan program kerjanya. Jika masih mempertahankan gagasan serupa tahun ini, yaitu menandai praktik-praktik seni partisipatoris dan relasional, jangan-jangan konsep pameran di ruang galeri sudah tidak lagi relevan. Mungkin saja program-program semacam Nandur Gawe dan program-program di luar ruang galerilah yang mulai harus dirancang menjadi wajah utama Nandur Srawung sebagai bentuk paling relevan dalam menjawab persoalan dan kebutuhan publik? Singkatnya Nandur Srawung juga bisa mengambil posisi untuk memberikan ruang pada publik yang selama ini berada dalam lingkar-lingkar terdekat problem-problem sosial Jogja. Mereka yang suaranya tidak pernah terdengar karena dominasi penguasa, atau mereka yang selama ini dirasa masih jauh dan tereksklusi dari manfaat kehadiran Danais.
Warga Meruwat Desa, Negara Merawat Apa?
Untuk mengelaborasi perbincangan atas kesenian yang difasilitasi pemerintah daerah, saya ingin menjajaki satu kasus lagi, yaitu konsep Desa Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada pertengahan 2023, saya menemui Maria Magdalena NW, Pendamping Desa Budaya Kalurahan Margodadi, Sleman.
Desa Budaya, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Fairuzul Mumtaz dalam ‘Merangkum Kegelisahan Bersama dalam Pembinaan Desa Budaya’ pada Mata Jendela Volume XVII Nomor 4, November 2022, konsep Desa Budaya, yang memiliki beberapa kategori, secara administratif hanya dikenal di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai bagian dari implementasi UU Keistimewaan. Kehadiran Desa Budaya diikuti oleh program Pendamping Desa Budaya (PDB) yang dikelola oleh Seksi Lembaga Budaya Dinas Kebudayaan DIY. Hingga 2024 ini, maka sudah 3 tahun ini Maria menjadi PDB. Tahun 2022 kemarin, dirinya menjadi PDB untuk Kalurahan Sendangagung, Sleman. Tahun 2023, Maria ‘pindah tugas’ ke Kalurahan Margodadi, yang juga masih berada di Sleman. Sebagai catatan, saya sendiri pernah menjadi PDB pada tahun 2022 untuk Kalurahan Sendangmulyo, Sleman.
Dari pengamatannya, Maria melihat terdapat tiga karakter kelompok warga dalam melakukan kegiatan seni-budaya. Pertama, warga yang sepenuhnya secara sukarela melakukan kegiatan seni-budaya baik dalam bentuk seni tari, karawitan, macapat, wayang dan sebagainya tanpa memikirkan apakah kegiatan bernilai profit atau tidak. Golongan warga pertama ini umumnya didominasi oleh usia lanjut, di atas 50. Dengan kata lain, mereka yang sudah memasuki masa purna kerja. Biasanya mereka mengisi waktu luang dengan bertani dan berkebun di siang hari, kemudian malam harinya berkumpul dengan kawan-kawan seusia untuk menabuh gamelan. Kebanyakan mereka tidak memiliki latar pengetahuan formal di bidang seni, bahkan menurut Maria, banyak diantaranya baru serius belajar mengrawit di usia senja. Mereka juga terhitung jarang secara langsung mengakses fasilitas yang berasal dari Danais. Karena dalam empat program utama yang diinisiasi oleh Dinas Kebudayaan DIY, yaitu Pentas Bandara YIA (Yogyakarta International Airport), Pentas Selasa Wagen, Upacara Adat dan Gelar Potensi Desa Budaya, mensyaratkan bahwa pelaku seni yang terlibat harus berusia dibawah 40 tahun.
Kedua, adalah kelompok warga campuran antara generasi usia lanjut dengan usia yang lebih muda. Mereka yang lebih muda, jika berhubungan dengan program-program yang berasal dari Dinas Kebudayaan DIY, cenderung menanyakan transparansi anggaran pada para pendamping, termasuk Maria. Bagi Maria, pertanyaan mereka bertujuan untuk memperhitungkan secara lebih matang berapa anggaran yang harus lebih dulu ditalangi oleh warga. Dari mana dan dengan siapa mereka harus secara terbuka membicarakan kebutuhan ini. Bisa saja dengan Kepala Desa, para Pamong Kalurahan, pengurus Desa Budaya, atau siapapun yang punya kelegaan waktu dan finansial. Hal ini disebabkan karena anggaran dari Dinas Kebudayaan bisa baru cair kurang lebih sebulan pasca hari pementasan. Golongan kedua ini ada karena keinginan kolektif untuk mewariskan pengetahuan seni-tradisi antar generasi. Dengan kata lain, mereka dipersatukan oleh mimpi bersama soal pelestarian khazanah potensi di Desanya. Dalam konteks ini, kerja-kerja volunteerism atau berbasis sukarela masih menjadi penggerak utama.
Kemudian ketiga adalah kelompok baik dalam bentuk sanggar atau komunitas yang sengaja berdiri dengan tujuan mengakses anggaran yang berasal dari Danais. Kelompok ini sepenuhnya terdiri dari mereka yang berusia muda, dibawah 40 tahun. Terkesan pragmatis, namun mekanisme demikian memang disediakan oleh Paniradya Pati dan Dinas Kebudayaan DIY selaku pembuat kebijakan terkait penyelenggaraan Danais. Akibat aturan pelaku seni di bawah usia 40 tahun, kelompok ketiga ini bisa dikatakan paling memenuhi syarat untuk mengakses fasilitas Danais. Umumnya, mereka bekerja dengan tata kelola yang lebih terstruktur. Menurut Maria, tujuan mereka mengakses Danais bukan dalam rangka sepenuhnya mencari keuntungan finansial, karena upah yang mereka dapat juga bisa dikatakan kurang layak. Apa yang mereka coba tuju setelah memperoleh Danais adalah reputasi dan relasi. Bagi mereka, bisa pentas dan ambil bagian dalam program yang berlogo Kundha Kabudayan, bisa membuat mereka memiliki daya tawar lebih dikemudian hari.
Bagi saya dan Maria, miris rasanya setiap kali mendengar keluh kesah warga terkait besaran anggaran yang diterima para pelaku seni ini. Sampai akhirnya, segala usaha bagaimana mereka memutar otak menutup dan menambal kekurangan biaya di sana-sini sudah dianggap sebagai situasi normal jika berurusan dengan program-program dari pemerintah. Tentu perasaan miris ini muncul karena tahu bahwa DIY memiliki lebih dari 700 miliar per tahun untuk urusan kebudayaan. Masih ingat betul, betapa saya mangkel mendengar kabar kunjungan kerja (kunker) massal 100 orang lebih pegawai Dinas Kebudayaan DIY ke Bali pada pertengahan Desember 2022 (sumber: radarjogja.jawapos.com). Ada narasumber yang mengatakan bahwa kegiatan ini terpaksa dilakukan karena penyerapan anggaran kebudayaan tahun 2022 jauh dari rencana realisasinya. Karena bahkan hingga Juli 2022, Danais baru terserap 6,81 persen. (sumber. jogjapolitan.harianjogja.com). Meski pada akhirnya, penyerapan anggaran Danais di sektor kebudayaan mencapai lebih dari 98% (sumber: dprd-diy.go.id), tetap saja ini tidak menggugurkan fakta adanya perjalanan ‘mendadak’ yang menghabiskan nilai miliaran rupiah tersebut.
Pembicaraan dengan Maria, membuat saya membayangkan bahwa kerja berbasis volunteerism dengan prinsip gotong royong sebagaimana yang disampaikan John Bowen paling kentara terlihat pada kelompok pertama.5 Mereka terbebas dari beban-beban birokratis dan administratif. Tetapi bisa dilihat bagaimana ada ‘transaksi’ yang berlangsung diantara sesama warga lanjut usia. Sedangkan kelompok ketiga menunjukan adanya kolektivitas yang terlembagakan secara formal. Memang berbeda dengan pola formalisasi masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, karena yang terjadi di Desa Budaya lebih bersifat bottom-up ketimbang top-down. Namun berbagai aturan teknis dan administratif yang harus dipenuhi oleh kelompok yang ingin mengakses Danais, tentu akan menguras tenaga yang seharusnya digunakan untuk hal-hal lain. Hingga kemudian warga ‘terdisiplinkan’ oleh berbagai aturan administratif. Maria mengaku bahwa tidak jarang perpecahan, pertikaian, prasangka dan kecemburuan terpercik diantara warga ketika merasa kelompok itu-itu saja yang mendapat fasilitas. Hal serupa juga saya temui ketika tahun lalu menjadi PDB. Rasanya ini adalah efek sosial jangka panjang dari kebijakan dan program yang hanya berangkat dari orientasi penyerapan anggaran. Sehingga meskipun inisiatif bersifat bottom-up, tetap saja harus mengikuti cara main birokrasi dan administrasi yang penuh peraturan. Padahal kebijakan publik seharusnya dilahirkan dengan prinsip melindungi, bukan mengatur. Dengan perspektif demikian, maka gelontoran fasilitas yang diberikan pemerintah daerah lewat skema Danais bisa kita tinjau kembali, hadir untuk melindungi khazanah kebudayaan warga atau sekadar menuntaskan tanggung jawab penyerapan anggaran.
5 Pada The Journal of Asian Studies Vol. 45 No. 3, Mei 1986, John Bowen menerangkan bahwa gotong-royong adalah kolektivitas alami masyarakat Indonesia untuk mewujudkan kerja yang bersifat timbal balik
Sebagai penutup, jika diakumulasikan hingga Tahun 2022, alokasi Danais pada sektor kebudayaan sudah mencapai angka lebih dari 2 triliun. Sayang, besarnya nilai ‘investasi’ ini masih meninggalkan tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan di Jogja. Dengan ini, apakah selama ini alokasi pada bidang kebudayaan bisa kita sebut sebagai ‘investasi bodong’?.

Hardiwan Prayogo adalah arsiparis dan pegiat film dari Jogja yang tergabung dalam kolektif film Cinemartani. Menjadi salah satu programmer Festival Film Dokumenter (FFD) tahun 2019 & 2022. Pada tahun 2019 menjadi salah satu grantees Asia-Europe Foundation (ASEF) untuk berkunjung ke Manila, Filipina melakukan riset yang bertajuk “Re-definition from the Bottom”. Tahun 2018-2021, bekerja sebagai arsiparis di Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Pada tahun 2023-2024 terlibat dalam berbagai program residensi seperti Minikino X Toko Seniman di Denpasar, Bali, Crack International Art Camp di Kushtia, Bangladesh dan Rimbun Dahan Southeast Asian Arts Residency di Selangor, Malaysia. Pada Agustus 2024 menjadi kurator pameran untuk Kotabaru Heritage Film Festival.