Harmoni Kuno
Rinding Gumbeng 
di Tengah Modernitas

Tulisan oleh
Balma Bahira Adzkia

Foto oleh
M. Rifat
Rio Ezar Tonyanggoro

Tulisan ini saya buat untuk merawat ingatan tentang pengalaman ngalap ilmu dari salah satu pelaku seni lokal Gunungkidul bulan September lalu: Kelompok Musik Sanggar Rinding Gumbeng Ngluri Seni. Bebunyian dari alat musiknya, yang keseluruhannya berbahan dasar bambu, memberikan kesan tersendiri bagi saya pribadi. Magis, unik, dan alami. Setidaknya tiga kata itu yang mewakili pikiran saya sejak lagu pertama didendangkan.

Sore itu, angin sepoi-sepoi menyapa ratusan pengunjung Amphitheater Taman Budaya Gunungkidul. Di tengah absurd-nya suhu Yogyakarta beberapa pekan terakhir, terselenggara sebuah panggung seni terbuka oleh Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah DIY berjudul “Beranda Seni, Budaya, dan Sastra Pelajar DIY (BESTARI) Volume 3.” Seperti pada volume-volume sebelumnya, panggung ini menjadi sarana inklusif bagi pelajar untuk unjuk bakat keragaman seni di daerahnya masing-masing. Perempuan, laki-laki, difabel, apapun latar belakangnya, semua boleh mengekspresikan jiwa seninya di BESTARI. Namun, agaknya edisi kali ini berbeda. Sebelum penampilan pelajar, pengunjung lebih dulu disambut oleh sebuah grup musik tradisional Gunungkidul: Sanggar Rinding Gumbeng Ngluri Seni.

Mungkin kita lebih familiar bahwa Gunungkidul terkenal dengan keindahan alamnya, seperti pantai atau batuan karst. Sehingga, terdengar unik ketika mengetahui kekayaan Gunungkidul tidak hanya berasal dari apa yang disediakan alam. Itulah yang dikerjakan Sanggar Ngluri Seni: merotasikan sudut pandang dengan menambah nilai fungsional dan estetika dari persediaan alam. Memegang teguh kerangka mensyukuri nikmat dan rezeki Tuhan, terciptalah buah daya pikir kreatif manusia berupa karya seni. Setidaknya, itu kesimpulan personal saya setelah mendapat kesempatan berbincang dengan Bu Sri Hartini, vokalis (atau biasa disebut penyekar) sekaligus ketua sanggar, tentang bagaimana rinding gumbeng bisa bertahan hingga kini.

Rinding gumbeng adalah kesenian musik tradisional khas Gunungkidul yang alat-alatnya dibuat menggunakan bambu. Rinding gumbeng sudah mengalun di telinga publik sejak zaman dahulu kala, namun baru pada tahun 1980 kesenian ini dikelola secara profesional oleh Sanggar Ngluri Seni dalam rangka pelestarian. Sanggar ini terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung dan belajar rinding gumbeng bersama-sama. 

Menurut penuturan Bu Sri, zaman dahulu instrumen musik bambu rinding gumbeng ini biasa dimainkan untuk mengiringi upacara adat “Boyong Dewi Sri”. Tradisi ini dikerjakan saat musim panen padi sebagai bentuk syukur dan sukacita. Seiring berjalannya waktu kini kesenian rinding gumbeng lebih sering tampil sebagai hiburan penyambut tamu, contohnya seperti di BESTARI. 

Tentang Rinding Gumbeng dan Kesederhanaannya

Sederhana. Itu satu kata yang saya pikirkan saat menonton penampilan rinding gumbeng pertama kali. Kostum pemain, alat musik, hingga lagu yang dimainkan. Saking sederhananya sampai membuat saya bertanya-tanya, “Oh ada ya musik asli Yogyakarta yang seperti ini?”. Mungkin karena sempitnya wawasan saya soal kebudayaan dan musik sampai bisa-bisanya mengira alat musik tradisional Yogyakarta atau lebih tepatnya Jawa hanya seperangkat gamelan saja.

Saat itu, personil yang hadir di BESTARI hanya delapan orang. Terdiri dari dua penyekar dan enam pemain instrumen. Personil perempuan menggunakan pakaian tradisional berkebaya ala petani, sedangkan yang laki-laki menggunakan baju hitam-hitam dengan penutup kepala. Dengan duduk langsung di pelataran tanpa alas, alunan rinding gumbeng mulai dimainkan.

Lagu-lagu yang dimainkan oleh Sanggar Ngluri Seni bertema kearifan lokal. Di BESTARI, Ngluri Seni membawakan tiga lagu: dua lagu orisinil sanggar dan satu lagu kontemporer gubahan “Koyo Jogja Istimewa” dari Ndarboy Genk. Dari ketiga lagu tersebut, saya paling suka lagu original Sanggar Ngluri Seni yang berjudul “Gunung Gambar Wonosadi”. 

Selama mendengarkan tembang Gunung Gambar Wonosadi, raga saya memang duduk di bangku penonton. Namun imajinasi saya dibawa ke Desa Beji, daerah asal rinding gumbeng. Melalui lagu tersebut, kedua penyekar seolah-olah mengajak penonton untuk berkunjung ke “rumah” rinding gumbeng di Desa Beji. Meski belum pernah ke sana, melalui tembang Gunung Gambar Wonosadi saya bisa membayangkan bahwa Desa Beji sangat asri dan menenangkan, kontras dengan suasana urban di tempat tinggal saya di Kota Yogyakarta. 

Untuk menuju daerah asal rinding gumbeng, penonton dibawa melewati Hutan Adat Wonosadi. Hutan adat yang ekosistemnya terjaga dengan baik dicerminkan oleh kicau burung yang bersahutan. Saya yakin suara burung tiruan tersebut dihasilkan dari salah satu alat musik dari instrumen rinding gumbeng sore itu. Setelah melalui hutan adat, kami diajak untuk melihat keagungan Gunung Gambar. Dari kaki gunung itulah rinding gumbeng disiarkan.

Ragam Alat Musik Rinding Gumbeng

Rasa penasaran terhadap alat-alat musik pada set rinding gumbeng dijawab langsung sore itu oleh Bu Sri. Dengan bangga dan sumringah Bu Sri memperkenalkan setiap alat musik yang diperdengarkan ke lebih dari 250 pelajar DIY yang hadir di BESTARI. Saat itu hanya ada lima alat yang dibawa: rinding, gumbeng, kecrek, kendang, dan gong.

Rinding adalah alat musik signature dari seperangkat instrumen rinding gumbeng. Berbentuk bambu pipih dengan panjang kira-kira sebesar 15 cm dan memiliki tali pendek di sisi kirinya. Terdapat cukilan yang berbentuk jarum di tengahnya dan tidak terputus dari badan utama bambu. Cara memainkan alat ini bukan ditiup, melainkan menggunakan suara tenggorokan sembari menarik tali pendek yang ada. 

Bunyi yang dihasilkan rinding sangat unik, kurang lebih seperti “tew tew tew”. Tinggi-rendahnya nada bisa diatur tergantung suara yang dikeluarkan dari tenggorokan tadi. Terlihat mudah namun tidak semua orang langsung bisa. “Bahkan belajar sebulan penuh pun belum tentu sudah mahir, hahaha” Bu Sri berkelakar.

Gumbeng dibuat dari satu ros bambu dengan panjang 50cm dan dilengkapi dengan dawai yang juga dibuat dari bambu. Cara memainkannya dipukul berirama. Kendang yang berfungsi sebagai perkusi dari rinding gumbeng terbentuk dari dua ros bambu, memiliki cukilan di tengah badannya, serta fungsinya mirip seperti kendang di gamelan. Ada dua cara memainkan kendang: badan kendang dipukul menggunakan pukulan karet atau membran di samping kanan-kiri kendang dipukul menggunakan telapak tangan. 

Gong versi Sanggar Ngluri Seni sangat berbeda dengan gong yang kita ketahui pada umumnya. Gong dibuat dari bambu dengan panjang kurang lebih 1 meter dan cara memainkannya adalah ditiup. Kecrek adalah alat musik yang dibuat dari sebuah ros bambu yang diberi ukiran menonjol dengan sebaran yang sudah diatur sedemikian rupa. Kecrek dimainkan dengan cara digesek ritmik.

Sempat Pesimis Hingga Berkesempatan Tampil di Istana Negara

Eksistensi rinding gumbeng di tengah-tengah masyarakat modern sempat membuat Bu Sri pesimis, terutama pada masalah regenerasi nantinya. Jika dibandingkan dengan musik Jawa kontemporer sebangsanya Guyon Waton atau Niken Salindry, orkes musik, organ tunggal, atau band modern, jelas suara rinding gumbeng masih kalah populer. Seberapa banyak topik “rinding gumbeng” dibicarakan oleh masyarakat setahun terakhir? Kapan video terbaru liputan publik (vlog atau rekaman pertunjukan) di internet tentang penampilan rinding gumbeng diunggah? Pada page Google keberapa hasil pencarian artikel populer yang relevan dengan kata kunci “rinding gumbeng” berhenti? 

Menurut pengakuan Bu Sri, sempat ada rasa ingin berhenti untuk melestarikan warisan budaya yang ternyata telah ditekuni keluarga Bu Sri sejak zaman simbah beliau dan hanya satu-satunya di Gunungkidul ini. Terlebih di masa-masa pandemi dan setelahnya, minat pada kesenian rinding gumbeng yang ternyata menjadi ekstrakurikuler di beberapa sekolah arahan Dinas Kebudayaan Gunungkidul mulai surut. 

Namun semangat Bu Sri dan rekan berangsur kembali sejak mendapat undangan untuk menghibur tamu undangan di Istana Negara Jakarta pada tahun 2022 dalam rangka HUT ke-77 Republik Indonesia. Bagi Bu Sri, kesempatan pentas di Istana Negara merupakan kesempatan emas bagi pelaku seni, apalagi bagi seniman kabupaten seperti Ngluri Seni. Peluang bertemu dengan kesempatan, bagi Sanggar Rinding Gumbeng Ngluri Seni itu adalah timing yang pas untuk mengudarakan irama khas alat musik tradisional yang telah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang. 

Hal inilah yang kemudian Bu Sri sadari bahwa rinding gumbeng dengan keunikan dan ciri khasnya tentu memiliki nilai plus tersendiri dibandingkan kesenian lain yang sudah lumrah di kalangan publik. Di samping itu, pasti menjadi kebanggaan bagi personal hingga daerah asal karena bisa menunjukkan tajinya di kancah nasional. “Wah kami nggak menyangka banget, Mbak. Keunikan tradisi daerah kami bisa dikenal se-Indonesia,” ujar Bu Sri dengan wajah sumringahnya.

Misi Regenerasi dan Spirit Kolaborasi Sebagai Strategi Bertahan

Dari penuturan Bu Sri, saya mengapresiasi upaya-upaya Pemkab setempat dalam hal amplifikasi kesenian rinding gumbeng sebagai potensi daerah. Mulai dari imbauan pengadaan ekstrakurikuler rinding gumbeng di sekolah hingga undangan tampil di acara-acara kebudayaan. Tentu menguntungkan juga bagi Sanggar karena selaras dengan misinya yakni regenerasi. 

Bu Sri sangat menaruh harapan pada generasi muda untuk turut melestarikan rinding gumbeng. “Inilah musik kuno satu-satunya di Gunungkidul yang masih bertahan hingga saat ini. Tentu akan membanggakan bagi diri sendiri, sekolah, dan daerah jika kesenian rinding gumbeng semakin dikenal banyak orang,” tutur Bu Sri.

Sanggar Ngluri Seni terbilang inklusif dalam melaksanakan misi perluasan peminat dan audiens. Sanggar terbuka bagi siapa saja yang ingin mempelajari rinding gumbeng langsung di tempat. Upaya lainnya yakni Sanggar Ngluri Seni juga menggubah lagu-lagu populer dengan aransemen rinding gumbeng untuk memperluas audiens, misal seperti di BESTARI yang membawakan lagu milik Ndarboy Genk. Selain itu, Sanggar Ngluri Seni juga sesekali mengambil langkah pivot yakni berkolaborasi dengan seniman-seniman lain, misal penyanyi campursari Dimas Tedjo dan grup musik Lohjinawi Musik. “Kalau mau nonton penampilan kami sudah banyak di YouTube, Mbak,” tutup Bu Sri.

Penutup

Harapan besar bagi semua pegiat seni tradisional seperti halnya Sanggar Ngluri Seni terhadap rinding gumbeng untuk tetap bisa bertahan di zaman modern seperti sekarang. Namun, jika boleh berpendapat, saya rasa harapan ini bisa terus hidup selama radar amplifikasinya kuat. Dengan modal didukung pemkab setempat dan pernah tampil di Istana Negara saja saya kira tidak cukup jika tidak dibarengi dengan “kehebohan” di media daring, berhubung identitas masyarakat masa kini setengah-setengah: setengah citizen, setengah netizen. Heboh di sini ditendensikan pada spektrum positif pastinya.

Menyelaraskan opini di atas, mungkin melalui artikel inilah upaya yang sementara bisa saya lakukan untuk mengangkat suara rinding gumbeng di kancah virtual dan muda-mudi sepantaran. Meski tidak berbunyi indah layaknya rinding gumbeng, semoga tetap ada kearifan yang dapat diambil!

Balma Bahira Adzkia, mahasiswi Informatika dan desainer grafis yang menulis banyak hal mulai dari coding program komputer hingga catatan harian sebelum tidur