Bahasa Indonesia, Riwayatnya Kini

Tulisan oleh
Setyaningsih

Pada tahun 80-an, barangkali tidak terbayangkan seorang ibu dari kalangan menengah-atas perkotaan Indonesia yang cukup mapan secara finansial dan intelektual akan mengkhawatirkan ketidakmampuan anaknya berbahasa Indonesia. Setidaknya, lewat pembacaan Soedjatmoko (dalam esai “Bahasa dan Transformasi Bangsa”, 1996), bahasa Indonesia telah menjadi “bahasa kota” dan tantangannya justru membuka rute bahasa Indonesia “menjadi bahasa rakyat desa, sesuai dengan tingkat kecendekiaan dan orientasi kebudayaan daerah pedesaan”.

Bahasa Indonesia dalam perjalanannya memang menggalang perjuangan dan kekuatan antikolonialisme, menjadi bahasa politik sebagai pernyataan sikap merdeka, memenuhi peran sebagai bahasa nasional untuk keperluan kehidupan bernegara, dan menjembatani pergaulan antarsuku. Bisa dibilang, bahasa Indonesia menempatkan para penuturnya dalam satu kelas yang setara. Namun, dalam penguasaan ilmu, pengetahuan, dan teknologi, bahasa Inggris mendominasi, menempatkan para penutur (Indonesia) di posisi lebih tinggi—lebih ‘meluar’ sekaligus lebih internasional.

Lumrahnya, anak-anak (Indonesia) di kota bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Anak-anak di desa pun mengerti bahasa Indonesia, tapi mungkin tidak menggunakannya dengan efisien laiknya bahasa daerah yang mengakomodasi pergaulan sehari-hari. Ada peristiwa kecil yang saya alami menjelang milenium 2000 ketika masih di sekolah dasar. Salah satu teman saya kembali ke Jawa setelah melewatkan sekitar 1,5 tahun di Papua (saat itu masih Irian Jaya). Guru meminta saya berbahasa Indonesia untuk membantu teman saya beradaptasi kembali dengan kehidupan sekolah. Saya merasa canggung dan malu, tapi sekaligus antusias. Bukan masalah bahasa Indonesia itu rumit, apalagi miskin. Bukankah terasa agak berlebihan seorang anak yang mengalami hari-harinya di suatu desa di perbatasan Surakarta-Boyolali berbicara dalam bahasa Indonesia?

Tidak mudah menjadikan bahasa Indonesia sebagai tuturan lisan. Impresinya berbeda dari menghadapi bahasa Indonesia sebagai teks, pelajaran, bacaan, dan ujian tertulis. Apalagi di lingkungan rumah dengan penutur bahasa Jawa yang cukup kental, siapa sih yang membutuhkan bahasa Indonesia sebanyak kepentingan administratif? Sekalipun sokongan televisi dengan ragam siaran berbahasa Indonesia, misalnya, mendorong anak memperoleh kosakata.

Martabat

Bayangkan saat republik ini masih cukup muda, apa yang dirasakan anak-anak di hadapan buku bahasa Indonesia, di antaranya Batjaan Bahasaku, Kitab Batjaan untuk Sekolah Rakjat (S. Sastrawinata dan B.M. Nur, 1957), Titian (R.M. Djamain, 1950), dan Beladjar Membatja (M.H. Rambitan dan K.J. Danckaerts) yang terus mengalami cetak ulang sampai 1964. Anak-anak yang mengekspresikan sedih-senang dan membentuk jati diri lewat bahasa ibu, pelan-pelan bertemu bahasa Indonesia yang rapi, agak resmi, dan cakep. Bahasa itu mengafirmasi peristiwa-peristiwa kecil sehari-hari: sakit perut, berkebun, jalan-jalan, piknik ke kebun binatang, memburu tikus, memberi makan ayam, berangkat sekolah, kehilangan uang, maupun membeli sate. Bahasa Indonesia (di)hidup(kan) dalam cerita-cerita.

Anak-anak Indonesia sekarang hidup dengan kecepatan asupan teknologi yang menentukan pengalaman berbahasa. Gim, media sosial, hiburan di YouTube, aplikasi kreatif maupun edukatif, dan bahasa pengantar di sekolah menyediakan sumber bahasa Inggris yang begitu terjangkau. Di rumah, orang tua memperkuatnya melalui komunikasi sehari-hari. Hal ini tentu memengaruhi penerimaan bahasa Indonesia dalam tumbuh kembang anak-anak.

Saya mengingat obrolan kecil dengan seorang ibu yang bercerita tentang anak dari kerabatnya yang kesulitan berbahasa Indonesia. Anak ini lahir di Indonesia, tapi lebih terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Ayah dan ibunya pun orang Indonesia dengan latar pendidikan yang mapan. Ketika mengobrol tentang hal ini, kami tengah berada di daerah Banjarsari-Solo, di seberang kursusan buatan Jepang yang awalnya fokus pada penguasaan matematika dan bahasa Inggris. Belakangan, kursusan ini membuka kelas bahasa Indonesia.

Sejak dirintis pada 1954 oleh seorang Jepang sekaligus guru matematika untuk membuat metode belajar yang efektif bagi anaknya sendiri, kursusan ini pelan-pelan melebarkan kelas bahasa nasional di masing-masing negara yang dituju pada 1990-an. Entah kita melihatnya sebagai kabar baik atau buruk, kelas bahasa Indonesia di Indonesia dan (ternyata) ditujukan untuk anak Indonesia (bukan penutur asing), tujuan utamanya memang menghadapi pelajaran-ujian bahasa Indonesia di sekolah.

Saya sering menjumpai betapa bangganya orang tua menunjukkan kefasihan anak menyebut warna dan angka dalam bahasa Inggris sejak usia belia atau merespons ujaran sehari-hari dengan bahasa Inggris. Di suatu kelas menulis untuk anak yang sempat saya ampu dua tahun lalu, ada seorang ibu mengeluhkan—meski kedengarannya seperti merendah untuk meroket—kesulitan anaknya mengutarakan sesuatu secara lisan dan tulisan dalam bahasa Indonesia. Apa yang dirasakan serta dipikirkan anak, sulit terungkapkan dalam bahasa Indonesia. Anak lebih cepat merespons sesuatu dalam bahasa Inggris karena orang tua memang membiasakan bahasa itu berkembang di masa-masa pengasuhan. Bahasa Inggris lebih menjembatani anak berkomunikasi, bahkan juga secara tidak langsung posisinya tepat mewakili kelas sosial kehidupan keluarga anak yang sangat cukup mapan.

Jika bahasa Inggris dipatok sebagai gengsi, bahasa Indonesia masih memegang peran pembentukan martabat diri. Anak Indonesia yang tidak bisa berbahasa Inggris masih bisa dimaklumi. Tidak bisa berbahasa ibu pun juga dimaklumi karena bahasa pengantar sehari-hari sudah diasuh oleh bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Namun, anak Indonesia (dengan ayah dan ibu berdarah Indonesia) tidak bisa berbahasa Indonesia dengan cukup spontan, bukankah memprihatinkan dan berpotensi dirasani?

Ukuran berbahasa tidak lagi sekompleks urusan nasionalisme dan antikolonialisme. Meski di era merdeka belajar ini, masih ada orang bermental penjajah yang mengatakan bahasa Indonesia itu ‘miskin’ kosakata (dia pasti bingung sendiri jika berjumpa kata semenjana, bertungkus lumus, menenggala, atau perigi). Memang, terkadang cukup dibutuhkan teman atau kerabat yang julid untuk memupuk keberanian tanpa cela belajar bahasa Indonesia. Dan salah satunya di kursusan bergengsi ‘Made in Japan’, orang tua masa kini menemukan solusinya. Ganbatte kudasai!

Setyaningsih menulis esai, resensi, dan terkadang cerita anak. Ia menekuni tema pustaka anak dan kebahasaan sejak 2018. Esai-esai tentang pustaka anak dihimpun dalam dua jilid buku Kitab Cerita (2019 dan 2021). Beberapa esai kebahasaan pernah dimuat di majalah Tempo.