Lokakarya Edukasi Seni Inklusif: Gerbang Kesetaraan dan Pengetahuan Seni dengan Disabilitas

Tulisan & ilustrasi oleh
Indira Natalia

Sumber foto dan cuplikan video dari dia.lo.gue artspace

Langkah demi langkah kulalui menuju ruang terbuka di Dia.Lo.Gue Artspace, 11 Oktober 2024. Pada tanggal tersebut, Dia.Lo.Gue Artspace sedang melaksanakan salah satu dari rangkaian program publik dalam pameran Warna-Warna Volume II Pusparagam Seni Disabilitas. Mereka mengadakan lokakarya sekaligus temu wicara bertajuk Wicara & Lokakarya Edukasi Seni Inklusif. Acara tersebut dihadiri oleh puluhan peserta Tuli serta beberapa peserta Dengar. Narasumber yang mengisi temu wicara dalam kegiatan ini terdiri dari dua orang, yaitu Nin Djani (Dengar), seorang Kurator Edukasi Museum of Modern And Contemporary Art in Nusantara (disingkat Museum MACAN), dan Intan Adelia (Tuli), perwakilan dari Pop Joy Sign. Temu wicara ini juga dimoderatori oleh Agung Hujatnika, seorang Kurator.

 

Pada awal sesi kegiatan ini, para peserta Tuli dan Dengar diberikan wawasan serta pengetahuan mengenai aksesibilitas oleh Museum MACAN, termasuk pengetahuan mengenai budaya Tuli dan kebutuhan komunikasinya, serta sedikit pemaparan mengenai bagaimana menjadi seorang pemandu pameran beserta etika dan cara-caranya. Setelah temu wicara, para narasumber menjelaskan bagaimana cara memandu sebuah pameran seni kepada para pengunjung.

Pada pembelajaran dalam lokakarya ini, karena waktu dan kesempatan yang terbatas, yaitu berlangsung selama tiga jam, terdapat sesi praktik bagaimana peserta Tuli menjadi pemandu pameran seni secara sederhana. Peserta, dalam praktik lokakaryanya, tidak harus menjelaskan secara detail karya yang ada di pameran sebagai objeknya. Misalnya, peserta diperbolehkan menjelaskan secara teknis karya tersebut, filosofi, dan sebagainya. Peserta juga dapat dan diperbolehkan hanya memberi informasi dan narasi yang dinikmati oleh para pengunjung, yaitu peserta Dengar dan lainnya.

Lokakarya ini merupakan salah satu pintu gerbang kesempatan untuk menginspirasi masyarakat Tuli pada umumnya dan peserta Tuli pada khususnya, bahwa mereka dapat berkesempatan bekerja di dunia seni selain sebagai seniman, seperti pemandu tur, gallery sitter, kurator, dan penulis. Para peserta diberi kesempatan ikut simulasi praktik sebagai pemandu tur karya pameran Warna-Warna.

Peserta Tuli yang ikut serta sangat bervariasi. Ada peserta Tuli yang menggunakan bahasa isyarat maupun verbal dan dibantu dijembatani komunikasi antara Dengar dan Tuli melalui Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang bertugas pada waktu itu. Durasi workshop ini kurang panjang sehingga belum terlalu mendalami dalam hal praktiknya.

Situasi seperti inilah yang menunjukkan bahwa sebagian besar peserta Tuli lebih nyaman dengan akses informasi yang bersifat visual daripada dalam bentuk teks dan karya. Akan tetapi, banyak bahasa dan peristilahan dalam ranah seni belum banyak yang diterjemahkan dalam Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Oleh karena itu, komunikasi efektif yang terjalin harus diberikan contoh-contoh yang relevan dengan budaya Tuli, dan lebih banyak memvisualisasikan dalam sebuah konsep yang lebih dipahami.

Dalam bahasan yang ada di dalam temu wicara kegiatan ini, dibahas juga tantangan-tantangan yang masih dialami setiap galeri, museum, maupun pameran seni rupa dalam memberikan inklusivitas di setiap pameran yang diselenggarakan. Selain Tuli, untuk disabilitas Netra memang termasuk paling menantang dan sulit untuk memberi akses kepada mereka. Menurut bahasan yang terjadi, hal ini disebabkan harus menyediakannya karya yang direplika agar bisa disentuh atau diraba oleh penyandang disabilitas Netra. Misalnya, replika karya telah disediakan untuk pameran temporer, hal yang menjadi masalah selanjutnya adalah bagaimana galeri atau penyelenggara pameran harus memutar otak ketika nanti setelah pameran, replika karya ini harus dibawa ke mana? Dan harus diapakan replika tersebut? Jika galeri memutuskan untuk menyimpannya, tentu saja akan semakin memenuhi dan memakan banyak ruang di tempat penyimpanan. Jika dibuang, justru malah replika ini akan berpotensi untuk merusak dan mencemari lingkungan.

Selain materi cara memberi akses pada pameran, saya berpendapat bahwa kita juga harus memberi materi tentang edukasi cara mengapresiasi karya maupun pameran kepada penyandang disabilitas. Karena sebagian besar masyarakat disabilitas, khususnya Tuli, masih memiliki wawasan yang minim tentang bagaimana cara mengapresiasi seni, bahkan masih menganggap seni itu adalah sesuatu yang mudah. Padahal karya seni merupakan hasil jerih payah sang perupa yang sudah bersusah payah untuk meriset, mencari ide, visual, serta memberi estetika maupun jiwa serta pemikiran dari perupa.

Jika bisa dan ada kesempatan untuk diadakannya lokakarya dan temu wicara yang mirip seperti kegiatan ini, dapat juga kita mengajak anak-anak sekolah luar biasa untuk mengikuti lokakarya seperti ini. Tidak hanya itu saja, bahkan kita dapat berkolaborasi dengan membuat pameran dengan anak-anak sekolah luar biasa tersebut. Hal ini bertujuan agar anak-anak disabilitas dapat lebih dini untuk berkarya maupun memahami bagaimana cara mengapresiasi karya seni.

Pameran semacam ini dapat pula diberikan judul tanpa adanya istilah “disabilitas,” karena itu sudah masuk inklusif. Terdapat beberapa pemantik pembahasan yang menyatakan bahwa jika diberi judul “disabilitas,” akan terasa kurang inklusif karena seolah-olah terjadilah pemisahan dan eksklusivitas antara pameran ‘seni disabilitas’ dengan pameran seni pada umumnya.

Penulis artikel ini, sebagai perupa disabilitas Tuli (verbal, pemakai alat bantu dengar, non-isyarat) yang cukup sering hadir acara diskusi maupun seminar seniman, masih butuh akses JBI. Karena pendengaran dari penulis tidak semua dapat menerima informasi sepenuhnya, hanya dapat sebagian sekitar 40-60% saja. Dengan diselenggarakannya kegiatan inklusif seperti ini, menjadi harapan besar agar ke depannya bisa ada lebih banyak lagi lokakarya seperti ini. Dengan lebih banyaknya kegiatan-kegiatan seperti ini, dunia seni—baik seniman, galeri, pengunjung, maupun aspek lainnya—dapat menjadi lebih inklusif lagi. Dengan menjadi lebih inklusif, para penyandang disabilitas menjadi manusia seutuhnya seperti pada umumnya yang bisa berkarya dan bekerja dengan setara.

Indira Natalia (b. 1991) adalah perupa disabilitas yang lahir besar di Jakarta, Indonesia. Dia lahir pada tanggal 16 Desember. Dia adalah salah satu grup duo Gurat Sahabat dan kolektif bernama Buka Warung. Dia juga mempunyai kegiatan sampingan sebagai asisten dalang dan pengrajin wayang potehi dalam Sanggar Wayang Potehi Siauw Pek San di Jakarta. Dia selalu memaknai kehidupan sehari-hari dengan jujur dan apa adanya seperti pada karyanya yang terbaru yaitu menerjemahkan suara dari perspektif pendengaran yang inspirasinya berangkat dari kondisi disabilitas pendengarannya sendiri. Melalui kekaryaannya, dia ingin mengajak orang-orang agar dapat merasakan situasi sehari-hari secara visual. Dia menggunakan banyak media, mulai dari watercolor, instalasi, woodcut, silkscreen, sketsa, lukisan, dan tekstil. Menurutnya, menggambar, garis, dan warna adalah visual bahasa.