Perempuan dalam
Ti’ti Geilat Mentawai
Tulisan oleh
Riski Dwi Kemala
Perempuan merupakan genre yang selalu dianggap terbatas dan lemah secara fisik, namun selalu akan memberikan kapasitas diri melampaui dirinya sendiri. Bukankah keberlangsungan hidup akan terus berjalan karena adanya kehadiran perempuan? Dan bagaimana seharusnya perempuan yang belum memenuhi keinginannya, namun kini ia sudah menjadi seorang ibu? Bagaimana bila nanti ketika sudah menjadi ibu bagi seorang anak, sosok ini akan sering ditinggal ayah untuk bekerja dan kerap harus melindungi diri sendiri beserta keluarganya di tengah masyarakat? Begitulah pertanyaan yang akan terus ada dalam kehidupan perempuan yang kelak nantinya akan menjadi ibu.
Perempuan akan selalu jadi topik yang menarik untuk dibicarakan, terlebih itu ketika ia sudah menjadi ibu bagi keluarga dan anak-anaknya. Mengolah rasa sayang dan cinta yang kerap ia salurkan dari sentuhan dan tatapan, lalu mengantar pengalaman ini ke pikiran dan hatinya, yang selanjutnya akan menumbuh pada sikap dan karakter diri. Bukankah ini yang selalu kita terima dari seorang ibu? Apakah hati dan pikiran ibu pernah lelah memikirkan diri ini? Bagaimanapun juga, ibu akan terus mampu membaca situasi hati dan pikiran anak-anaknya, terlebih bila sudah memiliki pasangan. Waktu dan kapasitas diri tentunya akan terbagi menjadi beberapa bagian kasih sayang, yang bukan hanya untuk dirinya saja tetapi untuk mereka yang terus ada di dalam hidupnya.
Hakikatnya perempuan merupakan penentu bagi peradaban manusia, yang akan dilambangkan dengan keseimbangan dan kesuburan bagi semua kehidupan di muka bumi ini. Secara tradisional, perempuan tentunya perlu dukungan dalam hal keseimbangan dan kesuburan ini, bukan hanya dari peran seorang ayah atau keluarga saja tetapi juga berkaitan dengan aturan yang disimbolkan pada tubuhnya yang sudah terserap dari sebelum ia menjadi perempuan dewasa atau ibu.
Begitulah bagi ibu yang berada di suku Mentawai, Kepulauan Sumatera. Konsep keibuan dalam diri bukan hanya berangkat dari kesadaran dan posisi dirinya saja, namun ibu akan dilindungi dengan simbol pada tubuh yang disebut dengan Geilat. Geilat merupakan motif tato tradisional Mentawai (Ti’ti) yang digunakan oleh perempuan Mentawai. Secara umum, perempuan di sini dimaksudkan kepada mereka yang sudah memiliki suami dan anak yang menduduki posisi pada suatu keluarga, yang telah ‘menubuhkan’ aturan dan hukum kebudayaan Mentawai pada dirinya.
Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah bagian dari Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, yang meliputi empat pulau utama: Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Penduduknya sebagian besar berasal dari suku Mentawai. Kabupaten ini terletak di sisi barat Pulau Sumatera, berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Salah satu tradisi yang sangat menarik untuk disimak yaitu kehadiran Ti’ti dalam kebudayaan Mentawai.
Tato atau Ti’ti Mentawai adalah salah satu bentuk ekspresi diri, di mana tato dianggap sebagai seni yang mampu menyampaikan pesan tertentu dari pemakainya. Setiap individu yang memiliki tato biasanya memiliki arti dan makna khusus dari gambar yang ada di tubuh mereka. Setiap motif yang ditato pada tubuh memiliki arti penting, karena tato bukan sekadar gambar yang bisa dihapus sesuka hati, melainkan bersifat permanen dan memiliki nilai yang abadi.
Dalam bahasa Indonesia, tato merupakan pengindonesiaan dari kata tattoo yang berarti goresan, gambar, atau lambang yang membentuk sebuah desain pada kulit tubuh. Di dalam Ensiklopedia Indonesia dijelaskan bahwa tato merupakan lukisan berwarna permanen pada kulit tubuh. Konon kata tato berasal dari bahasa Tahiti, yakni tattau yang berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan menggunakan alat berburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah permukaan kulit. Amy Krakov mengungkapkan secara teknis bahwa tato adalah pewarnaan permanen pada tubuh dengan cara diserapkan dengan benda tajam (jarum) ke dalam kulit (Olong, 2006: 83-84).
Kehadiran seni rajah tubuh ini sudah sangat membudaya pada masyarakat Mentawai, tidak hanya bagi tubuh laki-laki, ini juga berlaku bagi tubuh perempuan Mentawai. Kehadiran Ti’ti pada tubuh perempuan dipandang tidak lemah secara arti dan pemaknaan, namun kehadiran ini menjadi simbol identitas diri yang menjelaskan sejauh apa ia mampu memahami kebudayaan yang sudah mendarah daging pada dirinya. Ti’ti bagi perempuan sering disebut dengan Geilat, yang sampai saat ini masih bisa untuk dilihat keberadaannya, tentunya pada tubuh-tubuh perempuan yang berada jauh di pedalaman dan beberapa perempuan yang berada di luar kebudayaan mereka, yang memiliki perhatian dan kecintaan yang sama, tentunya agar Ti’ti ini tetap ada dan dapat menjadi perwakilan yang menjelaskan sejauh apa pemaknaan motif ini pada masing-masing penggunanya.
Perempuan dan Geilat memiliki kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antara satu dan lainnya. Geilat menjadi bahasa yang langsung dapat diartikan dan dimaknai oleh masyarakat Mentawai atau masyarakat luar lainnya. Selain itu, Geilat juga dapat menjelaskan sejauh apa keberadaan perempuan memahami kebudayaannya. Di Mentawai sendiri, perempuan yang memiliki Geilat di tubuhnya akan jauh dihargai daripada yang tidak menggunakannya, seperti status sosial yang diberikan secara tidak langsung namun dapat memberikan nilai bagi penggunanya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Mentawai.
Geilat juga bentuk perlindungan yang memposisikan diri perempuan jauh diatas kapasitas hariannya. Emosional yang terbangun juga berbeda, sosok keibuan yang sangat paham akan kapasitas diri terpancar dari tubuh ini. Ia akan lebih teratur dalam berucap dan bertingkah laku, dan sering akan mengurungkan niat bila itu berefek tidak baik bagi dirinya atau lingkungannya.
Terlepas dari semua hal ini, hakikatnya Geilat menjadi bukti bagaimana masyarakat Mentawai memperlakukan perempuannya, terlebih itu adalah seorang Ibu. Ibu menjadi subjek penting untuk dijaga keberadaannya, ibu juga menjadi salah satu denyut dalam kebudayaan Mentawai, yang akan selalu akan menjadi istimewa di hati ayah, anak, dan keluarga mereka.
Ti’ti dalam Arat Sabulungan
Ti’ti atau tato merupakan seni rajah tubuh, yang memiliki kedudukan yang sangat penting pada sistem kepercayaan masyarakat Mentawai, karena tato tidak hanya dianggap sebagai gambar, namun merupakan perwakilan dari identitas persukuan.
Arat Sabulungan merupakan kepercayaan suku Mentawai dalam mengatur kedudukan tato. Istilah ini berasal dari kata sa (se) atau sekumpulan, serta bulung atau daun. Sekumpulan daun dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk enau atau rumbia, yang diyakini memiliki tenaga gaib kere atau ketse. Kepercayaan tersebut berlandaskan kepada alam, di mana masyarakat tradisional Mentawai percaya akan kekuatan dewa-dewa yaitu; Tai Kabagat Koat (dewa laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh awang-awang) (Fajar, 2009:2).
Arat Sabulungan ini mengatur hidup masyarakat Mentawai dalam satu kesatuan yang disebut uma. Uma merujuk pada rumah besar, di mana dalam uma dilakukan segala aktifitas yang berkaitan dengan Arat Sabulungan. Mereka hidup bersahaja dengan mengandalkan alam untuk memenuhi kebutuhan mereka.
“Arat” memiliki makna yang sangat luas. Dalam Bahasa dan kebudayaan Mentawai, arat mencakup segala hal yang digolongkan kepada tradisi. Tradisi nenek moyang yang mutlak harus diterima tanpa gugatan. Karena telah diperjuangkan dari masa ke masa, yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat selama ratusan tahun. Oleh karena itu arat menjadi filsafat hidup, norma kehidupan, baik secara pribadi maupun dalam keluarga dan suku. Arat merupakan warisan suci, karena semenjak dahulu ditemukan oleh nenek moyang dan kelestariannya harus dijaga dengan baik (Coronese, 1986:36).
Arat Sabulungan menjadi pemahaman yang melahirkan ketentuan dalam Ti’ti, sekaligus menjadi pedoman yang mengikat dalam kepercayaan masyarakat Mentawai. Masyarakat Mentawai mempercayai bahwa kekuatan alam semesta merupakan kekuatan yang membangun tradisi-tradisi yang akan terus membudaya dalam kehidupan masyarakat Mentawai.
Dilihat dari pentingnya kehadiran kepercayaan Arat Sabulungan dalam kehidupan masyarakat Mentawai ini, menjelaskan bahwa masyarakat Mentawai memiliki konsep kehidupan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Arat Sabulungan adalah korelasi hubungan kehidupan sebelumnya yang dipercayai hingga saat ini dengan tetap menjaga seluruh kehidupan yang berada di dalamnya.
Perempuan Ti’ti Geilat
Tato atau Ti’ti Geilat melingkar di sepanjang dada dan punggung pada tubuh ibu Mentawai. Garis ini membuat tumpukan pusat pada bawah bahu bagian dada, lalu terus tergaris hingga ke punggung dan diulang menjadi beberapa garis di posisi lainnya. Dilihat dari bentuknya, Geilat memiliki arti yang sangat sederhana. Geilat diibaratkan kalung atau aksesoris leher, yang jumlah banyak garisnya disamakan di kiri dan kanan pada dada dan punggung.
Pola simetris atau bentuk keseimbangan dalam penempatan gambar tato pada tubuh masyarakat Mentawai tidak hanya di bagian lengan saja, hampir seluruh gambar tato di tubuh mereka menggunakan pola simetri. Gambar serupa dibuat pada sisi kiri dan kanan tubuh, maka dapat disimpulkan bahwa pola simetrisme menjadi dasar pembuatan kebudayaan tato tradisi kuno masyarakat adat kepulauan Mentawai. Umumnya secara visual tato Mentawai menampilkan gambar yang sederhana seperti titik, garis dan variasinya (Handani & Azeharie, 2019).
Motif Ti’ti Geilat bernilai aturan dan pemahaman yang dipercayai oleh masyarakat Mentawai. Geilat juga bentuk perlindungan yang menubuh pada penggunanya. Seorang perempuan Mentawai yang menggunakan Geilat haruslah paham betul bagaimana memposisikan diri ketika sudah menggunakan Ti’ti pada tubuhnya.Geilat adalah pemaknaan yang menjelaskan, bahwa perempuan tersebut sudah menyandang status dewasa dalam pengakuan adat. Pengakuan adat didapat ketika ia sudah menginjak dewasa atau sudah datang bulan, dan siap untuk diperistri oleh seorang laki-laki.
Mempersunting Perempuan Mentawai haruslah paham betul bagaimana kebudayaan masyarakat mengatur hal ini. Meminang seorang perempuan Mentawai mengharuskan seorang laki-laki dapat menaklukkan hati keluarga dari seorang gadis dan hati gadis tersebut, terlebih ia sudah memiliki Ti’ti pada tubuhnya, menandakan bahwa ia sudah dilindungi dan paham bagaimana menyelaraskan adat di dalam kehidupannya.Seorang laki-laki juga harus memiliki Uma (Rumah Adat Mentawai), yang nantinya menjadi tempat untuk tinggal si istri beserta anak-anaknya. Uma ini juga sebagai pusat perayaan adat dan juga rapat adat yang nantinya difungsikan oleh seluruh keturunannya. Hal ini terbentuk dari satu keturunan yang sama menjadi kelompok yang disebut sebagai suku.
Mengenali Geilat mengharuskan kita untuk kembali memahami bagaimana kebudayaan berlaku dalam kehidupan seorang perempuan. Geilat dianggap sebagai pelindung tidak hanya bagi diri seorang perempuan tersebut, melainkan juga menjelaskan ia berasal dari keluarga yang mengerti dan menjalani kebudayaan Mentawai dalam konteks Arat Sabulungan, yang telah membekali dirinya menjadi seorang perempuan dewasa yang nantinya dapat memberikan pemahaman pula bagi keturunan dan penerusnya.
Perempuan yang sudah diperistri dan memiliki keturunan biasanya dipanggil dengan Baboi, seorang Baboi merupakan konsep Ibuisme yang berbuat tanpa banyak mengharapkan imbalan. Uma merupakan interpretasi dari seorang Baboi, penggerak yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri saja, ia juga harus mampu mempertahankan kekuatan dan kehangatan Uma bagi keluarganya.
Uma merupakan bangunan sakral bagi masyarakat Mentawai. Uma haruslah dihuni oleh seorang Mae (ayah) dan Baboi (ibu) beserta keturunannya. Dalam ketentuan seorang keluarga yang memiliki Uma, harus memiliki Ti’ti pada tubuhnya, yang ditandai dengan tengkorak kepala babi yang tersusun rapi diteras depan Uma. Sebagai bukti dari Punen (perayaan adat), atas sahnya bangunan Uma, kelahiran anak, rapat adat, dan juga pengesahan Ti’ti pada tubuh seorang Mentawai .
Ketentuan yang berlaku pada Uma dibangun dan disepakati oleh Mae dan Baboi, dengan mempertimbangan segala kehidupan yang terbangun disuluruh bagian ruangnya. Uma merupakan sentral yang akan menjelaskan karakter penghuninya, dengan simbol-simbol dan aksesoris yang bermakna kepercayaan yang melindungi seluruh kehidupan yang berada di Uma.
Daftar Rujukan
Coronese, S. (1986). Kebudayaan Suku Mentawai. Grafidian Jaya.
Delfi, M. (2013). Islam and Arat Sabulungan in Mentawai. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 51(2), 475–499.
Derung, T. N., Ghoba, K. K., Ardila, M., & Pandity, Y. I. I. W. (2023). Totemisme Mentawai: Menggali Makna Arat Sabulungan dalam Pembangunan Uma bagi Orang Mentawai. Theos: Jurnal Pendidikan Dan Theologi, 2(8), 264–273.
Olong, H. A. K. (2006). Tato. LKiS.
Rosyani, I. (2013). Kehidupan Arat Sabulungan dalam Masyarakat Tradisional Mentawai. Universitas Pendidikan Indonesia.
Handani, I., & Azeharie, S. (2019). Analisis Semiotika Tato Tradisional Suku Mentawai. Koneksi, 3(1), 49.
Riski Dwi Kemala, perempuan kelahiran Pekanbaru pada 12 September 1993 ini memiliki ketertarikan besar terhadap dunia musik, khususnya vokal etnis, serta kajian budaya suku-suku asli di Indonesia maupun mancanegara. Minatnya tidak hanya terbatas pada bidang akademis, tetapi juga mencakup aktivitas yang bersentuhan langsung dengan alam. Ia gemar menjelajahi hutan yang dipenuhi berbagai jenis tanaman serta mengunjungi tempat-tempat yang masih alami. Kegiatan ini sering dilakukannya untuk memperdalam pemahaman atau sekadar menyelami hal-hal yang menarik perhatiannya.
“Perempuan haruslah punya keminatan dan kegemaran yang nantinya menjadi kebiasaan yang mampu menambah pengetahuan untuk dinikmati di masa diri selanjutnya.” (Iki, 28/10/14).