Pertemuan Warisan Tradisi dan Gaya Terkini: Wayang Spektakuler Rayakan Hari Wayang Dunia di Tulungagung

Tulisan oleh
Clairine Faiza SPK

Foto oleh
Muhammad Shoffa
Syayfina Haqqi Nalbandian

Tulungagung, sebuah kota kecil di Jawa Timur, turut serta dalam perayaan Hari Wayang Dunia pada 7 November 2024. Pada hari itu, untuk pertama kalinya, Kota Marmer menggelar Pagelaran Wayang Spektakuler, sebuah acara yang tidak hanya menampilkan tradisi seni wayang kulit, tetapi juga menghadirkan inovasi dan akulturasi budaya dalam kemasan modern. Acara ini diselenggarakan oleh Pakudhatu (Pakumpulan Dhalang Anom Tulungagung) bersama Mardhogta Event Management yang mempertemukan para seniman lintas generasi dalam sebuah pertunjukan seni.

Tema yang diangkat dalam pagelaran ini adalah “Inovasi dan Akulturasi Seni Pewayangan untuk Membangun Mental Bangsa yang Berbudaya”. Dengan harapan untuk membangkitkan semangat masyarakat Tulungagung dalam melestarikan budaya lokal, sekaligus menunjukkan bahwa seni tradisional dapat terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman. Pagelaran ini melibatkan 20 dalang, 20 sinden dari Pasinta (Paguyuban Sinden Tulungagung), 15 pengrawit, 3 penari, dan satu bintang tamu yaitu Lusi Brahman. Mereka semuanya berkolaborasi untuk menyajikan kisah wayang yang disertai dengan sentuhan teknologi modern.

Pagelaran ini mengangkat kisah hidup seorang tokoh bernama Sumantri, yang dihadapkan pada pilihan hidup yang penuh dilema. Cerita tersebut dibawakan dalam lakon Pratitis Trilaksana, yang mengajarkan bahwa untuk mencapai tujuan, seseorang harus melalui perjuangan dan pengorbanan. Pagelaran ini tidak hanya berfokus pada cerita, tetapi juga pada penggabungan teknologi dan seni tradisional. Dengan menggunakan tiga layar kelir, pertunjukan wayang kulit ini diproyeksikan dengan teknologi digital, menghadirkan pengalaman visual yang menarik dan inovatif. Sementara itu, barongan sentherewe ditambahkan dalam adegan budhalan perang, memberikan sentuhan budaya khas Tulungagung.

Salah satu tantangan terbesar dalam acara ini adalah mengatur skenografi panggung yang mampu menyajikan 20 sinden dan tiga kelir wayang dalam satu panggung yang terbatas. Namun, berkat kerjasama yang solid dan komitmen tinggi, semua kendala dapat diatasi dengan baik. Setiap detil, dari koordinasi dengan pihak terkait hingga pemilihan tata letak panggung dan kelir, dirancang agar acara ini dapat berlangsung dengan lancar dan memberikan pengalaman yang maksimal bagi penonton.

Pagelaran ini didukung penuh oleh sejumlah pihak, baik dari sektor swasta maupun pemerintah. Salah satunya adalah dukungan dari DPRD Provinsi melalui Bapak Guntur Wahono, yang menawarkan bantuan dana untuk kegiatan budaya ini. Selain itu, peran Ki Minto Darsono, salah satu dalang senior yang juga menjadi pembina Pakudhatu, sangat besar dalam kesuksesan acara ini. Beliau tidak hanya memberikan bimbingan artistik, tetapi juga mendorong terjadinya kolaborasi antara generasi tua dan muda dalam pertunjukan ini.

Proses persiapan pagelaran ini melibatkan kerja keras dari berbagai pihak. Mardhogta, yang bertanggung jawab atas tata kelola panggung dan pelaksanaan acara, memulai persiapan seminggu sebelum hari H. Kolaborasi antara tim Mardhogta, Pakudhatu, dan pihak terkait seperti Singapore Waterpark Rejotangan menjadi kunci suksesnya acara ini. Koordinasi dilakukan secara intensif, mulai dari penentuan venue panggung sepanjang 16 meter, hingga persiapan untuk hampir 70 orang talent yang terlibat. Tim Mardhogta juga bekerja dengan warga setempat untuk pengaturan parkir dan akses jalan, mengingat jumlah penonton yang diperkirakan mencapai ribuan.

Saat malam acara tiba, suasana di lokasi pertunjukan terasa magis. Penonton disuguhi pertunjukan wayang kulit yang dibalut dengan teknologi dan multimedia, menghadirkan pengalaman yang berkesan bagi para penonton. Pada akhirnya, pagelaran ini tidak hanya menjadi sebuah perayaan seni wayang, tetapi juga sebuah simbol semangat kebersamaan untuk pelestarian budaya. Masyarakat Tulungagung, khususnya generasi muda, kini semakin menyadari pentingnya menjaga dan mengembangkan tradisi lokal agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Pagelaran ini menunjukkan bahwa seni tradisional, seperti wayang kulit, tidak hanya dapat bertahan di tengah arus modernisasi, tetapi juga bisa berkembang melalui inovasi. Kolaborasi lintas generasi yang terjalin dalam acara ini membuktikan bahwa seni dapat menjadi jembatan yang menyatukan perbedaan, serta menjadi alat yang kuat dalam membangun karakter bangsa. Sebagai penutup, acara ini mengingatkan kita bahwa seni tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai luhur yang tentang perjuangan, pengorbanan, dan cinta tanah air.

Semoga kegiatan serupa dapat terus digelar di Tulungagung, tidak hanya untuk merayakan keberagaman budaya, tetapi juga untuk menciptakan generasi yang lebih peduli terhadap warisan budaya yang ada. Dengan demikian, seni tradisional seperti wayang kulit akan tetap hidup dan berkembang, tidak hanya sebagai warisan, tetapi sebagai bagian dari identitas warga itu sendiri.